Yogyakarta (ANTARA) - Praktisi hukum Retna Susanti SH MH mengatakan setiap proyek negara yang berdampak terhadap masyarakat harus melibatkan partisipasi masyarakat dan keterbukaan informasi.
"Kebijakan pembangunan selama ini masih bersifat 'top down', dari atas ke bawah. Masyarakat harus menerima, tidak ada partisipasi masyarakat dalam proyek pemerintah," katanya dalam seminar yang diselenggarakan Institute for Democracy and Welfarism, di UC UGM Yogyakarta, Sabtu.
Seminar bertema Membangun Kesejahteraan Masyarakat yang Menyejahterakan Lingkungan Hidup dengan pembahasan permasalahan sosial di Bener, Purworejo, Jawa Tengah, juga menghadirkan narasumber Hakimul Ikhwan S.Sos, MA, Ph.D (peneliti dan dosen Fisipol UGM), Dr.ret.nat. M.Anggri Setiawan, M.Si (Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana Fakultas Geografi UGM).
Selain tidak adanya partisipasi masyarakat, kata Retna, pemerintah juga kurang memiliki keterbukaan informasi publik. Hal ini juga memicu terjadi konflik di Wadas, Purworejo. Warga tidak banyak mendapatkan informasi terkait proyek Bendungan Bener.
"Mengapa ini tidak terbuka, kami juga tidak tahu alasannya," katanya.
Jika mengacu pada hukum kebijakan publik, semestinya pemerintah melaksanakan sosialisasi dan dialog dengan warga yang menjadi korban.
Informasi harus diberikan secara terbuka agar masyarakat paham. Ketika ada sumbatan informasi dan komunikasi pasti akan ada konflik dengan masyarakat.
"Dalam negara demokrasi, mestinya ada partisipasi masyarakat. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik harus didorong karena mereka yang merasakan dampaknya," katanya.
Pemerintah harus mengurangi kebijakan yang bersifat birokratis dan penyelesaian dengan pendekatan ekonomi. Pemerintah harus melibatkan masyarakat dan terbuka. Dialog dengan pendekatan sosial budaya harus dilakukan.
"Kebijakan apapun yang menyangkut hajat hidup orang banyak apalagi tanah di Jawa, harus tetap melibatkan masyarakat. Mereka harus diberikan kompensasi yang seimbang," ujarnya.
Sementara itu, Hamimul Ikhwan mengatakan problem di Wadas sebenarnya tidak hanya terkait Desa Wadas saja, namun keterkaitan lebih luas di kawasan sekitar. Ada proyek Bendungan Bener, kebutuhan air untuk irigasi hingga pembangunan di Jawa Tengah.
“Wadas ini tidak terisolasi karena penambangan andesit saja, tetapi pembangunan secara umum,” katanya.
Hakimul melihat program yang berkelanjutan itu terjadi karena ada dukungan dari masyarakat. PBB juga menekankan agar pembangunan menghindari konflik dengan melakukan pendekatan perdamaian. Di Indonesia harus ada pendekatan partisipatif untuk mendapatkan dukungan masyarakat dan sosial.
"Saya kira konflik di Wadas ini hanya miskomunikasi. Program tidak diimplementasi secara cantik sejak 2016 tanpa transparansi," katanya.
"Kebijakan pembangunan selama ini masih bersifat 'top down', dari atas ke bawah. Masyarakat harus menerima, tidak ada partisipasi masyarakat dalam proyek pemerintah," katanya dalam seminar yang diselenggarakan Institute for Democracy and Welfarism, di UC UGM Yogyakarta, Sabtu.
Seminar bertema Membangun Kesejahteraan Masyarakat yang Menyejahterakan Lingkungan Hidup dengan pembahasan permasalahan sosial di Bener, Purworejo, Jawa Tengah, juga menghadirkan narasumber Hakimul Ikhwan S.Sos, MA, Ph.D (peneliti dan dosen Fisipol UGM), Dr.ret.nat. M.Anggri Setiawan, M.Si (Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana Fakultas Geografi UGM).
Selain tidak adanya partisipasi masyarakat, kata Retna, pemerintah juga kurang memiliki keterbukaan informasi publik. Hal ini juga memicu terjadi konflik di Wadas, Purworejo. Warga tidak banyak mendapatkan informasi terkait proyek Bendungan Bener.
"Mengapa ini tidak terbuka, kami juga tidak tahu alasannya," katanya.
Jika mengacu pada hukum kebijakan publik, semestinya pemerintah melaksanakan sosialisasi dan dialog dengan warga yang menjadi korban.
Informasi harus diberikan secara terbuka agar masyarakat paham. Ketika ada sumbatan informasi dan komunikasi pasti akan ada konflik dengan masyarakat.
"Dalam negara demokrasi, mestinya ada partisipasi masyarakat. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik harus didorong karena mereka yang merasakan dampaknya," katanya.
Pemerintah harus mengurangi kebijakan yang bersifat birokratis dan penyelesaian dengan pendekatan ekonomi. Pemerintah harus melibatkan masyarakat dan terbuka. Dialog dengan pendekatan sosial budaya harus dilakukan.
"Kebijakan apapun yang menyangkut hajat hidup orang banyak apalagi tanah di Jawa, harus tetap melibatkan masyarakat. Mereka harus diberikan kompensasi yang seimbang," ujarnya.
Sementara itu, Hamimul Ikhwan mengatakan problem di Wadas sebenarnya tidak hanya terkait Desa Wadas saja, namun keterkaitan lebih luas di kawasan sekitar. Ada proyek Bendungan Bener, kebutuhan air untuk irigasi hingga pembangunan di Jawa Tengah.
“Wadas ini tidak terisolasi karena penambangan andesit saja, tetapi pembangunan secara umum,” katanya.
Hakimul melihat program yang berkelanjutan itu terjadi karena ada dukungan dari masyarakat. PBB juga menekankan agar pembangunan menghindari konflik dengan melakukan pendekatan perdamaian. Di Indonesia harus ada pendekatan partisipatif untuk mendapatkan dukungan masyarakat dan sosial.
"Saya kira konflik di Wadas ini hanya miskomunikasi. Program tidak diimplementasi secara cantik sejak 2016 tanpa transparansi," katanya.