Yogyakarta (ANTARA) - Dosen Departemen Sains Informasi Geografi Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) Pramaditya Wicaksono mengembangkan teknologi pengolahan data pengindraan jauh untuk memetakan padang lamun secara akurat, efektif, dan efisien.
Sebagaimana dikutip dalam keterangan pers universitas yang diterima di Yogyakarta, Selasa, berbekal hasil kajian mengenai padang lamun yang dilakukan sejak 2010 dia mengembangkan perangkat pengolahan data citra digital pengindraan jauh untuk kebutuhan pemetaan stok karbon atas permukaan dan sekuestrasi karbon ekosistem padang lamun secara otomatis.
Pengembangan teknologi itu melibatkan banyak dosen, peneliti, dan mahasiswa serta didukung oleh lembaga-lembaga penelitian dari dalam maupun luar negeri.
Baca juga: Dosen FMIPA UGM mengembangkan teknologi big data untuk mitigasi COVID-19
Lembaga penelitian yang terlibat dalam pengembangan teknologi itu meliputi Pusat Riset Oseanografi BRIN, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, Universitas Hasanuddin, dan Pusat Riset Antariksa BRIN, University of Queensland, Wageningen University and Research, dan TH Koeln (Cologne University of Applied Sciences).
Pramaditya mengatakan bahwa pengembangan teknologi pendukung pemetaan padang lamun berawal dari keprihatinan mengenai pengelolaan padang lamun yang belum optimal di Indonesia.
"Jasa ekosistem padang lamun belum banyak mendapat eksposur dan masih kalah populer jika dibandingkan dengan ekosistem karbon biru lain seperti terumbu karang dan hutan mangrove," kata Ketua Program Studi Sarjana Kartografi dan Penginderaan Jauh UGM itu.
Ia menjelaskan, padang lamun merupakan salah satu ekosistem karbon biru di wilayah pesisir yang didominasi oleh vegetasi lamun (angiosperm).
Menurut dia, Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati padang lamun dunia yang memiliki lima sampai 10 persen dari luas padang lamun dunia.
Padang lamun, ia mengatakan, berperan penting dalam menjaga kelangsungan hidup biota laut, membuat air laut jernih, dan menjadi stabilisator sedimen perairan.
"Tumbuhan air berbunga tersebut juga melindungi bumi karena mampu mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dan mitigasi perubahan iklim," kata dia.
Meski luasnya kurang dari satu persen lautan bumi, Pramaditya mengatakan, padang lamun menyimpan sekitar 18 persen dari total karbon di laut.
Kemampuan padang lamun dalam menyerap karbon dan menguburnya dalam sedimen, menurut dia, sampai 30 kali lipat lebih tinggi dari pada hutan hujan tropis yang selama ini dikenal sebagai ekosistem penyerap karbon.
Fakta tersebut, ia melanjutkan, menempatkan padang lamun sebagai ekosistem penyerap karbon yang paling efektif dan efisien di bumi.
Pramaditya menyebutkan bahwa nilai ekonomi jasa ekosistem padang lamun juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem karbon biru lain seperti hutan mangrove dan terumbu karang.
Menurut dia, valuasi ekosistem padang lamun mencapai 19.004 dolar AS per hektare per tahun sedangkan nilai ekosistem hutan mangrove 9.990 dolar AS per hektare per tahun dan ekosistem terumbu karang nilainya 6.075 dolar AS per hektare per tahun.
Oleh karena itu, ia mengatakan, pengelolaan ekosistem padang lamun perlu dilakukan secara berkelanjutan.
Pengelolaan ekosistem padang lamun, menurut dia, membutuhkan dukungan informasi mengenai distribusi spasial dan temporal padang lamun serta informasi biofisik seperti variasi spesies, persentase tutupan, biomassa, cadangan karbon, dan laju serapan karbon.
Selain itu juga dibutuhkan informasi mengenai perubahan luas padang lamun di Indonesia dan berbagai penyebabnya.
Ketersediaan informasi tersebut secara multi temporal sangat penting untuk melihat dinamika yang terjadi pada ekosistem padang lamun.
"Butuh waktu panjang, personel dengan kompetensi khusus, dan dana yang besar untuk survei konvensional padang lamun di Indonesia. Ditambah minimnya data historis terkait distribusi spasial dan temporal padang lamun. Karenanya kami terus mengembangkan metode pengolahan data pengindraan jauh untuk memetakan padang lamun," kata Pramaditya.
Baca juga: UGM-Kementan mengembangkan Smart Agricultural Enterprise Kedelai
Sebagaimana dikutip dalam keterangan pers universitas yang diterima di Yogyakarta, Selasa, berbekal hasil kajian mengenai padang lamun yang dilakukan sejak 2010 dia mengembangkan perangkat pengolahan data citra digital pengindraan jauh untuk kebutuhan pemetaan stok karbon atas permukaan dan sekuestrasi karbon ekosistem padang lamun secara otomatis.
Pengembangan teknologi itu melibatkan banyak dosen, peneliti, dan mahasiswa serta didukung oleh lembaga-lembaga penelitian dari dalam maupun luar negeri.
Baca juga: Dosen FMIPA UGM mengembangkan teknologi big data untuk mitigasi COVID-19
Lembaga penelitian yang terlibat dalam pengembangan teknologi itu meliputi Pusat Riset Oseanografi BRIN, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, Universitas Hasanuddin, dan Pusat Riset Antariksa BRIN, University of Queensland, Wageningen University and Research, dan TH Koeln (Cologne University of Applied Sciences).
Pramaditya mengatakan bahwa pengembangan teknologi pendukung pemetaan padang lamun berawal dari keprihatinan mengenai pengelolaan padang lamun yang belum optimal di Indonesia.
"Jasa ekosistem padang lamun belum banyak mendapat eksposur dan masih kalah populer jika dibandingkan dengan ekosistem karbon biru lain seperti terumbu karang dan hutan mangrove," kata Ketua Program Studi Sarjana Kartografi dan Penginderaan Jauh UGM itu.
Ia menjelaskan, padang lamun merupakan salah satu ekosistem karbon biru di wilayah pesisir yang didominasi oleh vegetasi lamun (angiosperm).
Menurut dia, Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati padang lamun dunia yang memiliki lima sampai 10 persen dari luas padang lamun dunia.
Padang lamun, ia mengatakan, berperan penting dalam menjaga kelangsungan hidup biota laut, membuat air laut jernih, dan menjadi stabilisator sedimen perairan.
"Tumbuhan air berbunga tersebut juga melindungi bumi karena mampu mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dan mitigasi perubahan iklim," kata dia.
Meski luasnya kurang dari satu persen lautan bumi, Pramaditya mengatakan, padang lamun menyimpan sekitar 18 persen dari total karbon di laut.
Kemampuan padang lamun dalam menyerap karbon dan menguburnya dalam sedimen, menurut dia, sampai 30 kali lipat lebih tinggi dari pada hutan hujan tropis yang selama ini dikenal sebagai ekosistem penyerap karbon.
Fakta tersebut, ia melanjutkan, menempatkan padang lamun sebagai ekosistem penyerap karbon yang paling efektif dan efisien di bumi.
Pramaditya menyebutkan bahwa nilai ekonomi jasa ekosistem padang lamun juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem karbon biru lain seperti hutan mangrove dan terumbu karang.
Menurut dia, valuasi ekosistem padang lamun mencapai 19.004 dolar AS per hektare per tahun sedangkan nilai ekosistem hutan mangrove 9.990 dolar AS per hektare per tahun dan ekosistem terumbu karang nilainya 6.075 dolar AS per hektare per tahun.
Oleh karena itu, ia mengatakan, pengelolaan ekosistem padang lamun perlu dilakukan secara berkelanjutan.
Pengelolaan ekosistem padang lamun, menurut dia, membutuhkan dukungan informasi mengenai distribusi spasial dan temporal padang lamun serta informasi biofisik seperti variasi spesies, persentase tutupan, biomassa, cadangan karbon, dan laju serapan karbon.
Selain itu juga dibutuhkan informasi mengenai perubahan luas padang lamun di Indonesia dan berbagai penyebabnya.
Ketersediaan informasi tersebut secara multi temporal sangat penting untuk melihat dinamika yang terjadi pada ekosistem padang lamun.
"Butuh waktu panjang, personel dengan kompetensi khusus, dan dana yang besar untuk survei konvensional padang lamun di Indonesia. Ditambah minimnya data historis terkait distribusi spasial dan temporal padang lamun. Karenanya kami terus mengembangkan metode pengolahan data pengindraan jauh untuk memetakan padang lamun," kata Pramaditya.
Baca juga: UGM-Kementan mengembangkan Smart Agricultural Enterprise Kedelai