Kulon Progo (ANTARA) - Anggota Pansus Optimalisasi Penerimaan Pajak Bumi, Bangunan Perdesaan, dan Perkotaan (PBB-P2) DPRD Kabupaten Kulon Progo Muji Harsa mempertanyakan penyebab belum optimalnya pendapatan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) meski Bandara Internasional Yogyakarta beroperasi.
Muji Harsa di Kulon Progo, Senin, mengatakan berdasarkan data Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kulon Progo bahwa transaksi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) pada 2019 ada 5.550, tahun 2020 sebanyak 5.160, tahun 2021 sebanyak 6.612, dan tahun 2022 sampai November sebanyak 4.902.
"Rata-rata transaksi stagnan pada angka 5.000 dalam satu tahun. Secara logika, dengan adanya bandara harga tanah melambung tinggi, transaksi jual beli tanah meningkatkan, apalagi dengan perbup, NJOP naik 10 kali lipat. Seharusnya transaksi harus meningkat, yang berarti penerimaan BPHTB meningkat. Tapi kenapa angka BPHTB stabil," kata Muji Harsa.
Ia mengatakan Perda Nomor 9 Tahun 2010 tentang BPHTB mengatur secara jelas prosedur bagaimana cara menghitung dan membayar BPHTB. Tapi kenyataannya banyak kendala di Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Kalau kita berpikir sederhana untuk mengoptimalkan penerima pajak, yakni menaikkan tarif NJOP. Namun dasar menghitung BPHTB harus jelas. Masyarakat banyak yang enggan membayar BPHTB karena variasinya dasar penetapan penentuan pajak," katanya.
Menurut dia, BKAD dalam menentukan dasar tarif pajak dengan mengambil dasar pasti dan tetap. Misalnya penggunaan zona nilai tanah sehingga tidak akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.
"Dengan zona nilai tanah bisa dipakai sangat bagus kerja sama antara BPN dan BKAD," katanya.
Ketua Pansus PBB-P2 DPRD Kulon Progo Nur Eny Rahayu mengatakan tidak setiap transaksi diurus BPHTB.
"Hanya terjadi transaksi antara penjual dan pembeli, belum ada legalitas," katanya.
Ia mengatakan penentuan besaran pajak mendasarkan pada zona nilai tanah hanya digunakan BPN.
"Ke depan bisa dibuka secara umum," katanya.
Kepala BKAD Kulon Progo Eko Wisnu Wardhana mengatakan sejak pendaerahan PBB-P2 pada 2014, Kulon Progo belum melakukan penyesuaian kecuali pada 2019 menuju 2020 sehingga harga tanah naik bisa disebabkan dua hal, yakni adanya Bandara Internasional Yogyakarta atau penyesuaian NJOP.
"Harapan kami penerimaan BPHTB di Kulon Progo terus meningkat," kata.
Namun demikian, secara ekstrem penerima BPHTB itu sifatnya hanya berjaga-jaga dan tidak bisa diharapkan secara penuh. Hal ini dipengaruhi oleh masyarakat umum mengurus ke PPAT.
"Kami tidak bisa memastikan angka pendapatan BPHTB," katanya.
Muji Harsa di Kulon Progo, Senin, mengatakan berdasarkan data Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kulon Progo bahwa transaksi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) pada 2019 ada 5.550, tahun 2020 sebanyak 5.160, tahun 2021 sebanyak 6.612, dan tahun 2022 sampai November sebanyak 4.902.
"Rata-rata transaksi stagnan pada angka 5.000 dalam satu tahun. Secara logika, dengan adanya bandara harga tanah melambung tinggi, transaksi jual beli tanah meningkatkan, apalagi dengan perbup, NJOP naik 10 kali lipat. Seharusnya transaksi harus meningkat, yang berarti penerimaan BPHTB meningkat. Tapi kenapa angka BPHTB stabil," kata Muji Harsa.
Ia mengatakan Perda Nomor 9 Tahun 2010 tentang BPHTB mengatur secara jelas prosedur bagaimana cara menghitung dan membayar BPHTB. Tapi kenyataannya banyak kendala di Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Kalau kita berpikir sederhana untuk mengoptimalkan penerima pajak, yakni menaikkan tarif NJOP. Namun dasar menghitung BPHTB harus jelas. Masyarakat banyak yang enggan membayar BPHTB karena variasinya dasar penetapan penentuan pajak," katanya.
Menurut dia, BKAD dalam menentukan dasar tarif pajak dengan mengambil dasar pasti dan tetap. Misalnya penggunaan zona nilai tanah sehingga tidak akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.
"Dengan zona nilai tanah bisa dipakai sangat bagus kerja sama antara BPN dan BKAD," katanya.
Ketua Pansus PBB-P2 DPRD Kulon Progo Nur Eny Rahayu mengatakan tidak setiap transaksi diurus BPHTB.
"Hanya terjadi transaksi antara penjual dan pembeli, belum ada legalitas," katanya.
Ia mengatakan penentuan besaran pajak mendasarkan pada zona nilai tanah hanya digunakan BPN.
"Ke depan bisa dibuka secara umum," katanya.
Kepala BKAD Kulon Progo Eko Wisnu Wardhana mengatakan sejak pendaerahan PBB-P2 pada 2014, Kulon Progo belum melakukan penyesuaian kecuali pada 2019 menuju 2020 sehingga harga tanah naik bisa disebabkan dua hal, yakni adanya Bandara Internasional Yogyakarta atau penyesuaian NJOP.
"Harapan kami penerimaan BPHTB di Kulon Progo terus meningkat," kata.
Namun demikian, secara ekstrem penerima BPHTB itu sifatnya hanya berjaga-jaga dan tidak bisa diharapkan secara penuh. Hal ini dipengaruhi oleh masyarakat umum mengurus ke PPAT.
"Kami tidak bisa memastikan angka pendapatan BPHTB," katanya.