Bantul (ANTARA) - Yayasan Rumah Pelita Indonesia bekerja sama Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menggagas komunitas Relawan Kesehatan Jiwa melalui kegiatan "Sosialisasi Update Knowledge Germas" dalam bentuk Training of Trainer (ToT) Kesehatan Jiwa yang diikuti relawan Rumah Pelita, Forum Anak Bantul (Fonaba) Yayasan Bina Remaja Bantu (YBRB), dan Ruang Kolaborasi Pemuda (RKP).

Dewan Pembina Yayasan Rumah Pelita Indonesia Sigit Nursyam Priyanto disela kegiatan ToT di Bantul, Senin, mengatakan, topik kesehatan jiwa menjadi pembahasan penting untuk dikaji saat ini, di tengah maraknya generasi muda khususnya gen-z yang mengalami gangguan kesehatan jiwa hingga melukai diri sendiri.

"Di sini hadir para generasi muda, yang diharapkan bisa menjadi relawan untuk kesehatan jiwa di masyarakat. Bisa dimulai dari lingkungan terdekat misalnya teman sekolah jadi pelopor agar jangan sampai ada yang mengalami gangguan kesehatan jiwa yang akan berpengaruh ke produktivitas sehari-hari," katanya.

Dia berharap, setelah ToT, generasi muda bukan hanya sekadar menyimpan pengetahuan, tapi juga menerapkan ilmu ke segmentasi yang lebih luas, menjadi gerakan 'snowballing' yang semakin meluas, sehingga benar-benar menjangkau lapisan masyarakat yang membutuhkan.

Sementara itu, narasumber ToT yang berprofesi sebagai relawan kesehatan jiwa masyarakat Dr. dr. Warih Andan Puspitosari mengatakan, untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan jiwa masih memiliki banyak tantangan, karena adanya stigma negatif tentang orang-orang yang memiliki gangguan kesehatan jiwa.

"Kita seharusnya bisa dengan mudah mengetahui adanya gangguan kesehatan jiwa semudah kita mengetahui dan merasakan gejala-gejala ketika kita akan sakit flu. Kalau flu memang mudah kita ketahui gejalanya, karena lebih gampang dideskripsikan dibanding gangguan kesehatan jiwa," katanya.

"Hal ini jadi tantangan untuk kita semua yang punya akses informasi dan edukasi, jangan sampai banyak jiwa yang terluka karena kita tidak 'aware' ternyata ada yang membutuhkan bantuan kesehatan jiwa di sekitar kita," katanya.

Lebih lanjut, dia mengatakan, ada tiga area kesehatan jiwa yaitu populasi orang sehat jiwa, kelompok dengan resiko, dan orang dengan gangguan jiwa. Orang dengan sehat jiwa harus dijaga agar tetap sehat jiwanya, sementara orang dengan resiko dan bergangguan harus didampingi agar kembali sehat hingga melakukan pengobatan sampai pulih jiwanya.

"Dalam hal pengobatan kesehatan jiwa, kita tidak bisa menyamaratakan satu pasien dengan pasien lain. Misal orang bisa memperoleh ketenangan jiwa dengan rekreasi ke pantai, namun belum tentu berlaku untuk orang lain. Maka pengobatan kesehatan jiwa harus melalui konseling yang mendalam agar menemukan solusi terbaik," katanya.

Dia mengatakan, jalan pejuang kesehatan jiwa masih panjang dan harus dilatih terus menerus. Adanya stigma di masyarakat tentang orang dengan gangguan kesehatan jiwa tak jarang menjadi alasan orang itu akhirnya tidak mau terbuka, memilih menyendiri karena takut dicemooh, sehingga bisa berdampak buruk bagi kesehatan jiwa.

"Pesan saya, kita sebagai masyarakat yang paham, harus membuka mata dan peka terhadap lingkungan, sehingga apabila ada yang membutuhkan pertolongan kesehatan jiwa, kita bisa bantu sebisa mungkin," katanya.

Setelah sesi materi berakhir, para peserta melakukan praktik bersama aktivis kesehatan jiwa bagaimana terjun ke masyarakat untuk melakukan edukasi dan pendekatan terhadap orang-orang dengan risiko gangguan kesehatan jiwa.

Pewarta : SP
Editor : Hery Sidik
Copyright © ANTARA 2024