Den Haag (ANTARA) - Sebuah gitar Fender Jazzmaster Candy Apple Red keluaran tahun 1965 menyalak garang, meraungkan satu demi satu melodi dengan staccato tajam berkarakter treble dan reverb basah yang diproses lewat amplifier bermerek sama. Sementara itu, satu gitar Fender lain berjenis Jazzmaster Lake Placid Blue 1962 mengudarakan entak nyaring bertempo allegro yang tetap terjaga sepanjang lagu.
Meski tanpa gebukan drum atau cabikan bass, lagu bertajuk "Guitar Boogie" itu tetap riuh dan menyenangkan untuk disimak, sama halnya dengan versi yang dimainkan oleh Arthur Smith and His Cracker-Jacks tahun 1948.
Perpaduan suara dari kedua instrumen tersebut menghasilkan harmonisasi lagu penuh semangat lewat tarian jemari dua pemain gitar gaek yang pernah amat masyhur di Negeri Tulip Belanda lebih dari setengah abad silam. Siapa sangka, deret nada penuh agresivitas itu lahir dari jari-jari kedua lelaki yang telah menginjak usia kepala delapan.
Dua orang pemetik gitar nan piawai itu bernama Hans Bax dan Eddy Chatelin, sedangkan Indorock adalah benang merah yang menyatukan kisah panjang mereka.
Musisi Indorock, Hans Bax (kiri) dan Eddy Chatelin (kanan) saat ditemui di Den Haag, Belanda, akhir Agustus 2023. (ANTARA/Ahmad Faishal)
Kisah bermula sekitar satu dekade usai lagu Indonesia Raya berkumandang di halaman sebuah rumah di kawasan Pegangsaan Timur pada pertengahan tahun 1945. Pada masa itu di Eropa utamanya Belanda, banyak anak muda keturunan Belanda-Indonesia yang rajin mengonsumsi musik rock ’n roll Amerika dari siaran radio Australia dan Philipina atau berbekal keping piringan hitam yang didistribusikan lewat orang-orang yang bekerja di pelabuhan.
Anak-anak muda yang bermain musik itu menjadi amat gandrung pada nama-nama semacam Arthur Smith, Chuck Berry, Les Paul, Cliff Richards, Duane Eddy, Link Wray, Cozy Cole, Elvis Presley, serta duet Kanada, Santo and Johnny. Berbekal keberanian dan darah seni yang mengalir deras di dalam tubuh mereka, generasi muda itu pun mulai menancapkan taji mereka dengan tampil di berbagai expo -- sebutan yang lazim digunakan untuk festival budaya antarnegara yang digelar di Eropa.
Generasi muda blasteran Belanda-Indonesia tersebut lantas memainkan rock ’n roll dengan pakem musik yang telah mereka dengarkan sejak belia yaitu keroncong, gamelan, hingga hawaiian. Nama Indorock pun disematkan bagi hibrida jenis musik tersebut, meski istilah tersebut baru populer pada akhir era ’70-an.
Band-band Indorock lahir dari kota-kota seperti Den Haag, Amsterdam, Groningen, Zaandam, Utrecht, dan Maastricht, sedangkan kawasan Breda melahirkan The Tielman Brothers yang dianggap band berkualitas paling wahid pada masa itu.
Darah-darah muda berkewarganegaraan Belanda tersebut kemudian rutin ‘membakar’ banyak klub kecil yang ada di sekitar wilayah Jerman. Tidak berhenti di situ, pergerakan mereka juga semakin meluas hingga ke beberapa negara seperti Swiss, Italia, Denmark, Finlandia, Swedia, dan Israel.
Tercatat salah satu band Indorock tertua adalah The Real Room Rockers yang digagas oleh Hans Bax pada tahun 1957 di Den Haag. Sedangkan gitaris Eddy Chatelin tergabung dalam band besar lain bernama The Crazy Rockers yang berdiri sejak tahun 1959.
Petualangan Eddy dan Hans
Lahir di Palembang, 29 Juni 1943, Eddy Chatelin adalah putra bungsu dari tujuh bersaudara. Pada usia 11 tahun, dia bersama ibu dan saudara-saudara kandungnya hijrah ke Belanda setelah sebelumnya sempat menetap di Kota Jakarta dan Bandung.
“Saya berada di Bandung pada usia lima tahun. Keluarga kami lalu pergi ke Belanda karena waktu itu bapak saya sudah wafat tertembak tentara Jepang. Saya kemudian bersekolah di Belanda,” kata Eddy membuka perbincangan sambil tetap merangkul gitar Fender Jazzmaster kebanggaannya.
Eddy mengatakan bahwa bakat seni dalam dirinya, utamanya musik, mengalir dari sosok sang ibu yang bisa memainkan gitar dan bernyanyi lagu-lagu keroncong dengan apik.
“Mama mengajarkan saya bermain gitar keroncong pada tingkatan yang sederhana. Selain itu, saya juga mempelajari musik jazz ketika bersekolah di Belanda,” cerita Eddy.
Di sekolah pula, Eddy kecil berkenalan dengan salah satu pendekar rock ’n roll Amerika yaitu Elvis Presley. Lagu yang kali pertama ia dengarkan berjudul “Dont Be Cruel” dan seketika membuatnya jatuh hati pada jenis musik yang sesuai dengan jiwa mudanya saat itu.
Beranjak remaja tepatnya pada usia 18 tahun, Eddy mendirikan sebuah band Indorock bernama The Crazy Rockers dengan mengajak serta rekannya yaitu Woody Brunings (gitar, vokal), Harry Berg (gitar), Pim Veeren (bass), dan Sidney Rampersadt (drums).
Pada awal era ’60-an, band yang beranggotakan anak-anak muda diaspora Indonesia dan Suriname itu dikategorikan sebagai salah satu band hebat dari The Hague yang mampu menandingi kepopuleran The Tielman Brothers asal Surabaya. Eddy dan kompatriot tampil di beberapa gelaran di negara Jerman, Swiss, dan negara-negara bagian Skandinavia.
Beberapa rekaman lagu yang sempat mereka publikasikan di antaranya “Giddy Up”, “Rosita My Love”, “The Happy Whistler”, “Carioca”, “The Third Man”, dan “Mama Papa Twist”. Tiga judul lagu terakhir bahkan masih dapat ditelusuri jejak audio-visualnya lewat YouTube.
Bila Eddy Chatelin baru memulai petualangan bersama The Crazy Rockers pada tahun 1961, maka gitaris Hans Bax justru sudah lebih dulu terkenal di Belanda bersama beberapa band, salah satunya The Tielman Brothers.
Lahir di Banjarmasin 31 Maret 1937, Hans Bax adalah anak keempat dari enam bersaudara. Bersama keluarga, dia hijrah ke Belanda tahun 1955 pada usia 18 tahun setelah sebelumnya sempat menetap di Jakarta.
Tak butuh waktu lama bagi Hans untuk ‘mengobrak-abrik’ skena musik di Negeri Oranje. Setiba di Belanda, dia langsung bergabung sebagai pemain bass dengan sebuah band bernama The Real Room Rockers yang diperkuat oleh Rob Latuperissa (drums), Rudy van Dorssen (gitar), Rudy Swart (gitar), Aphons Faverey (gitar), dan Kees van der Linden (gitar) pada tahun 1957.
Pada pertengahan September 1959, The Real Room Rockers mendapatkan tawaran manggung di acara bertemakan hawaiian yaitu Octoberfest di Munich yang membuat Hans dkk semakin tenar di seantero Jerman. Momentum kesuksesan itu juga digunakan oleh Hans untuk membentuk sebuah band lain bernama The Hurricane Rollers dan belakangan The Javalins pada tahun 1961.
Baru pada tahun 1965 ketika The Javalins membubarkan diri, Hans bergabung dengan salah satu band Indorock termasyhur yaitu The Tielman Brothers.
“Saya bermain rhythm gitar, sedangkan Reggy Tielman yang mengambil bagian bass rhythm. Menurut saya, The Tielman Brothers dan The Javalins adalah band Indorock terbaik era itu,” kata Hans mengingat-ingat.
Rekam jejak digital Hans bersama The Tielman Brothers masih dapat ditemukan di YouTube saat mereka tampil di sebuah acara televisi membawakan lagu “Bossa Nova Baby”, “Hello Caterina”, dan “A Lovers Concerto”.
Nyaris di semua bagian klip video tersebut, Hans dan The Tielman Brothers yang tampil necis dengan setelan jas, asyik berdendang dan bergoyang dengan koreografi apik sembari tetap berakting memainkan instrumen.
“Waktu itu sosok yang ada di balik semua koreografi kami adalah Loulou Tielman (drummer). Kami diminta untuk bergoyang sesuai dengan ketukan lagu agar menarik dan enak dilihat. Loulou adalah otak di balik show, sedangkan Andy Tielman nomor satu untuk skill bermain gitar,” kenang ayah dari 5 orang anak tersebut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kisah manis dua pendekar gitar terakhir Indorock di Negeri Belanda
Meski tanpa gebukan drum atau cabikan bass, lagu bertajuk "Guitar Boogie" itu tetap riuh dan menyenangkan untuk disimak, sama halnya dengan versi yang dimainkan oleh Arthur Smith and His Cracker-Jacks tahun 1948.
Perpaduan suara dari kedua instrumen tersebut menghasilkan harmonisasi lagu penuh semangat lewat tarian jemari dua pemain gitar gaek yang pernah amat masyhur di Negeri Tulip Belanda lebih dari setengah abad silam. Siapa sangka, deret nada penuh agresivitas itu lahir dari jari-jari kedua lelaki yang telah menginjak usia kepala delapan.
Dua orang pemetik gitar nan piawai itu bernama Hans Bax dan Eddy Chatelin, sedangkan Indorock adalah benang merah yang menyatukan kisah panjang mereka.
Kisah bermula sekitar satu dekade usai lagu Indonesia Raya berkumandang di halaman sebuah rumah di kawasan Pegangsaan Timur pada pertengahan tahun 1945. Pada masa itu di Eropa utamanya Belanda, banyak anak muda keturunan Belanda-Indonesia yang rajin mengonsumsi musik rock ’n roll Amerika dari siaran radio Australia dan Philipina atau berbekal keping piringan hitam yang didistribusikan lewat orang-orang yang bekerja di pelabuhan.
Anak-anak muda yang bermain musik itu menjadi amat gandrung pada nama-nama semacam Arthur Smith, Chuck Berry, Les Paul, Cliff Richards, Duane Eddy, Link Wray, Cozy Cole, Elvis Presley, serta duet Kanada, Santo and Johnny. Berbekal keberanian dan darah seni yang mengalir deras di dalam tubuh mereka, generasi muda itu pun mulai menancapkan taji mereka dengan tampil di berbagai expo -- sebutan yang lazim digunakan untuk festival budaya antarnegara yang digelar di Eropa.
Generasi muda blasteran Belanda-Indonesia tersebut lantas memainkan rock ’n roll dengan pakem musik yang telah mereka dengarkan sejak belia yaitu keroncong, gamelan, hingga hawaiian. Nama Indorock pun disematkan bagi hibrida jenis musik tersebut, meski istilah tersebut baru populer pada akhir era ’70-an.
Band-band Indorock lahir dari kota-kota seperti Den Haag, Amsterdam, Groningen, Zaandam, Utrecht, dan Maastricht, sedangkan kawasan Breda melahirkan The Tielman Brothers yang dianggap band berkualitas paling wahid pada masa itu.
Darah-darah muda berkewarganegaraan Belanda tersebut kemudian rutin ‘membakar’ banyak klub kecil yang ada di sekitar wilayah Jerman. Tidak berhenti di situ, pergerakan mereka juga semakin meluas hingga ke beberapa negara seperti Swiss, Italia, Denmark, Finlandia, Swedia, dan Israel.
Tercatat salah satu band Indorock tertua adalah The Real Room Rockers yang digagas oleh Hans Bax pada tahun 1957 di Den Haag. Sedangkan gitaris Eddy Chatelin tergabung dalam band besar lain bernama The Crazy Rockers yang berdiri sejak tahun 1959.
Petualangan Eddy dan Hans
Lahir di Palembang, 29 Juni 1943, Eddy Chatelin adalah putra bungsu dari tujuh bersaudara. Pada usia 11 tahun, dia bersama ibu dan saudara-saudara kandungnya hijrah ke Belanda setelah sebelumnya sempat menetap di Kota Jakarta dan Bandung.
“Saya berada di Bandung pada usia lima tahun. Keluarga kami lalu pergi ke Belanda karena waktu itu bapak saya sudah wafat tertembak tentara Jepang. Saya kemudian bersekolah di Belanda,” kata Eddy membuka perbincangan sambil tetap merangkul gitar Fender Jazzmaster kebanggaannya.
Eddy mengatakan bahwa bakat seni dalam dirinya, utamanya musik, mengalir dari sosok sang ibu yang bisa memainkan gitar dan bernyanyi lagu-lagu keroncong dengan apik.
“Mama mengajarkan saya bermain gitar keroncong pada tingkatan yang sederhana. Selain itu, saya juga mempelajari musik jazz ketika bersekolah di Belanda,” cerita Eddy.
Di sekolah pula, Eddy kecil berkenalan dengan salah satu pendekar rock ’n roll Amerika yaitu Elvis Presley. Lagu yang kali pertama ia dengarkan berjudul “Dont Be Cruel” dan seketika membuatnya jatuh hati pada jenis musik yang sesuai dengan jiwa mudanya saat itu.
Beranjak remaja tepatnya pada usia 18 tahun, Eddy mendirikan sebuah band Indorock bernama The Crazy Rockers dengan mengajak serta rekannya yaitu Woody Brunings (gitar, vokal), Harry Berg (gitar), Pim Veeren (bass), dan Sidney Rampersadt (drums).
Pada awal era ’60-an, band yang beranggotakan anak-anak muda diaspora Indonesia dan Suriname itu dikategorikan sebagai salah satu band hebat dari The Hague yang mampu menandingi kepopuleran The Tielman Brothers asal Surabaya. Eddy dan kompatriot tampil di beberapa gelaran di negara Jerman, Swiss, dan negara-negara bagian Skandinavia.
Beberapa rekaman lagu yang sempat mereka publikasikan di antaranya “Giddy Up”, “Rosita My Love”, “The Happy Whistler”, “Carioca”, “The Third Man”, dan “Mama Papa Twist”. Tiga judul lagu terakhir bahkan masih dapat ditelusuri jejak audio-visualnya lewat YouTube.
Bila Eddy Chatelin baru memulai petualangan bersama The Crazy Rockers pada tahun 1961, maka gitaris Hans Bax justru sudah lebih dulu terkenal di Belanda bersama beberapa band, salah satunya The Tielman Brothers.
Lahir di Banjarmasin 31 Maret 1937, Hans Bax adalah anak keempat dari enam bersaudara. Bersama keluarga, dia hijrah ke Belanda tahun 1955 pada usia 18 tahun setelah sebelumnya sempat menetap di Jakarta.
Tak butuh waktu lama bagi Hans untuk ‘mengobrak-abrik’ skena musik di Negeri Oranje. Setiba di Belanda, dia langsung bergabung sebagai pemain bass dengan sebuah band bernama The Real Room Rockers yang diperkuat oleh Rob Latuperissa (drums), Rudy van Dorssen (gitar), Rudy Swart (gitar), Aphons Faverey (gitar), dan Kees van der Linden (gitar) pada tahun 1957.
Pada pertengahan September 1959, The Real Room Rockers mendapatkan tawaran manggung di acara bertemakan hawaiian yaitu Octoberfest di Munich yang membuat Hans dkk semakin tenar di seantero Jerman. Momentum kesuksesan itu juga digunakan oleh Hans untuk membentuk sebuah band lain bernama The Hurricane Rollers dan belakangan The Javalins pada tahun 1961.
Baru pada tahun 1965 ketika The Javalins membubarkan diri, Hans bergabung dengan salah satu band Indorock termasyhur yaitu The Tielman Brothers.
“Saya bermain rhythm gitar, sedangkan Reggy Tielman yang mengambil bagian bass rhythm. Menurut saya, The Tielman Brothers dan The Javalins adalah band Indorock terbaik era itu,” kata Hans mengingat-ingat.
Rekam jejak digital Hans bersama The Tielman Brothers masih dapat ditemukan di YouTube saat mereka tampil di sebuah acara televisi membawakan lagu “Bossa Nova Baby”, “Hello Caterina”, dan “A Lovers Concerto”.
Nyaris di semua bagian klip video tersebut, Hans dan The Tielman Brothers yang tampil necis dengan setelan jas, asyik berdendang dan bergoyang dengan koreografi apik sembari tetap berakting memainkan instrumen.
“Waktu itu sosok yang ada di balik semua koreografi kami adalah Loulou Tielman (drummer). Kami diminta untuk bergoyang sesuai dengan ketukan lagu agar menarik dan enak dilihat. Loulou adalah otak di balik show, sedangkan Andy Tielman nomor satu untuk skill bermain gitar,” kenang ayah dari 5 orang anak tersebut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kisah manis dua pendekar gitar terakhir Indorock di Negeri Belanda