Jakarta (ANTARA) - Bagaimana sebuah bangsa yang dikelilingi lebih dari 17 ribu pulau menghadapi risiko bencana yang kian meningkat?
Pada Senin, 8 September 2025, pertanyaan besar itu dijawab melalui langkah penting Indonesia di Kantor Asian Development Bank Institute (ADBI), Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo, ketika pemerintah memulai babak baru memperkuat ketahanan bencana melalui kerja sama strategis berskala global.
Penulis memimpin tim lintas kementerian/lembaga dalam sebuah pertemuan strategis bersama Prof Dr Bambang Brodjonegoro, Chief Executive Officer ADBI.
Diskusi ini membuka ruang baru bagi kolaborasi Indonesia dengan ADBI untuk membangun sistem pengurangan risiko bencana yang lebih terintegrasi, modern, dan berbasis pengetahuan global.
Tim Indonesia hadir dengan perwakilan dari berbagai institusi penting, termasuk di dalamnya Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana BNPB Nadhirah Seha Nur, Kepala Pelaksana BPBD Jawa Timur Gatot Subroto, Sekretaris BPBD Jawa Barat Anne Hermadianne Adnan, serta perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri.
Pertemuan ini diselenggarakan di sela-sela rangkaian pelatihan internasional bertajuk "Disaster Risk Resilience Management System and White Paper" yang diselenggarakan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 8–19 September 2025.
Baca juga: Menteri PU gerak cepat tangani banjir Bali
Dengan memanfaatkan momentum ini, Indonesia ingin memperkuat jejaring kerja sama dan memperkaya perspektif tentang manajemen risiko bencana melalui pertukaran pengalaman langsung dengan para ahli internasional.
Sebagai negara kepulauan dengan kerentanan bencana yang tinggi, Indonesia memiliki kesamaan karakteristik geografis dan tantangan dengan Jepang.
Karakteristik dan tantangan itu, mulai dari risiko gempa bumi, tsunami, banjir, longsor, kekeringan, hingga fenomena hidrometeorologi ekstrem lainnya, dua negara ini sama-sama dihadapkan pada realitas alam yang menuntut kesiapsiagaan tinggi.
Itulah sebabnya,budaya tangguh bencana harus menjadi fondasi utama bagi masyarakat Indonesia.
Tidak cukup hanya mengandalkan peralatan dan teknologi, yang lebih penting adalah membangun kesadaran kolektif dan perilaku adaptif yang melekat di setiap individu dan komunitas.
Dalam konteks ini, Kemenko PMK telah menjadikan penguatan budaya tangguh bencana sebagai prioritas melalui program "Kita Tangguh”, sebuah flagship program nasional yang dirancang untuk membentuk masyarakat yang lebih siap, teredukasi, dan responsif terhadap risiko bencana.
Baca juga: BNPB modifikasi cuaca di Jatim antisipasi banjir seperti Bali
Program ini mengedepankan kolaborasi lintas pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dunia usaha, hingga organisasi masyarakat sipil.
Keberhasilan program ini hanya bisa dicapai bila ekosistem kebencanaan Indonesia dikelola secara inklusif dan terintegrasi, dengan pembelajaran berkelanjutan yang didukung praktik terbaik dari negara-negara lain, termasuk Jepang.
Dalam diskusi, penulis menyampaikan sejumlah potensi kerja sama konkret antara Pemerintah Indonesia dan ADBI.
Bentuknya dapat meliputi pendidikan dan pelatihan kebencanaan, peningkatan kapasitas mitigator bencana, penelitian bersama, serta penerbitan modul, buku, dan panduan kebencanaan yang dapat menjadi rujukan nasional.
Oleh karena itu, investasi pada pengetahuan dan kapasitas sumber daya manusia adalah kunci utama membangun ketahanan bangsa.
Dengan dukungan ADBI, Indonesia berharap dapat mengakses metode, data, dan praktik terbaik manajemen risiko bencana internasional untuk kemudian diadaptasi ke konteks lokal.
Kolaborasi multilateral
Prof Dr Bambang Brodjonegoro, CEO ADBI, menyambut baik inisiatif Indonesia ini dan menegaskan komitmen ADBI untuk mendukung langkah-langkah strategis tersebut.
ADBI memiliki peran penting sebagai jembatan komunikasi antara Pemerintah Indonesia dengan berbagai lembaga donor internasional, termasuk Asian Development Bank (ADB) dan Islamic Development Bank (IDB).
Kolaborasi multilateral ini diharapkan dapat membuka akses pembiayaan, pendampingan teknis, dan alih teknologi untuk memperkuat sistem penanggulangan bencana nasional.
Selain itu, Prof Bambang menyoroti pentingnya mengintegrasikan agenda pengurangan risiko bencana dengan upaya penanganan perubahan iklim.
Tantangan kebencanaan, saat ini tidak lagi berdiri sendiri, melainkan semakin kompleks karena dampak krisis iklim yang memengaruhi frekuensi dan intensitas bencana.
Oleh karena itu, kerja sama lintas lembaga, lintas sektor, dan lintas negara menjadi semakin mendesak untuk memastikan kebijakan adaptasi dan mitigasi berjalan seiring, dengan berbasis pada sains dan bukti empiris.
Pertemuan di Tokyo ini menjadi penanda awal bagi fase baru penguatan sistem pengurangan risiko bencana Indonesia.
Baca juga: Sebanyak 5 rumah ambruk dan 33 rusak berat akibat banjir di Tabanan
Dialog yang dibangun tidak hanya menyoroti aspek teknis dan kebijakan, tetapi juga menempatkan manusia sebagai pusat dari seluruh upaya.
Edukasi publik, kesiapan komunitas, serta literasi kebencanaan di kalangan generasi muda menjadi prioritas bersama. Hal ini berdasar pada pengalaman yang menunjukkan bahwa keberhasilan penanggulangan bencana bukan hanya tentang infrastruktur, tetapi juga tentang perilaku dan kesadaran kolektif.
Momentum ini sekaligus mengingatkan pentingnya sinergi lintas kementerian, lembaga, dan pemangku kepentingan untuk mewujudkan ekosistem manajemen risiko bencana yang tangguh. Indonesia tidak bisa bekerja sendirian.
Kerja sama dengan ADBI, ADB, IDB, JICA, dan berbagai mitra internasional lainnya menjadi langkah strategis untuk mengakselerasi transformasi kebijakan kebencanaan nasional.
Dukungan teknis dan pembiayaan dari lembaga-lembaga tersebut memungkinkan Indonesia memperluas cakupan mitigasi, mengembangkan teknologi prediksi bencana berbasis data, dan membangun kapasitas komunitas di daerah-daerah rawan bencana.
Ke depan, tindak lanjut pertemuan ini diharapkan segera dilakukan melalui penyusunan peta jalan kerja sama yang lebih detail.
Baca juga: Hujan deras sebabkan banjir bandang di Lampung Barat
Peta jalan tersebut akan menjadi acuan bersama untuk memastikan bahwa seluruh inisiatif yang dibangun selaras dengan prioritas nasional, sekaligus terhubung dengan agenda pembangunan berkelanjutan.
Dengan begitu, strategi pengurangan risiko bencana Indonesia dapat berjalan lebih sistematis, terukur, dan efektif, sejalan dengan tujuan mewujudkan masyarakat yang adaptif dan berdaya tahan tinggi.
Pertemuan ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya bereaksi terhadap bencana, tetapi sedang bergerak menuju paradigma baru, dari penanganan ke pencegahan, dari respons darurat ke mitigasi proaktif, dan dari kebijakan sektoral menuju kolaborasi lintas batas.
Transformasi cara pandang inilah yang akan menjadi fondasi penting bagi keberhasilan program “Kita Tangguh” dan penguatan budaya tangguh bencana di seluruh Indonesia.
Melalui semangat kolaborasi ini, Indonesia menegaskan komitmennya untuk tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga memperkuat kapasitas sosial, edukasi, dan budaya masyarakat.
Baca juga: Bandara Ngurah Rai menyatakan kondisi "force majeure" akibat banjir
Bermodal kemitraan dengan ADBI dan dukungan berbagai lembaga internasional, Indonesia ingin memastikan bahwa setiap langkah mitigasi yang diambil bukan hanya untuk melindungi aset dan pembangunan, tetapi lebih jauh lagi untuk melindungi nyawa dan masa depan generasi berikutnya.
Pertemuan di Tokyo bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang menuju Indonesia yang lebih tangguh dan siap menghadapi tantangan zaman.
Dengan semangat gotong royong, sinergi global, dan inovasi berkelanjutan, Indonesia optimistis mampu membangun ekosistem penanggulangan bencana yang modern, inklusif, dan berkelanjutan, sekaligus menjadikan budaya tangguh bencana sebagai identitas nasional di masa depan.
*) Andre Notohamijoyo adalah Asisten Deputi Pengurangan Risiko Bencana Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK)
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Jalan Indonesia di panggung global untuk pengurangan risiko bencana