Jakarta (ANTARA) - Kopi merupakan minuman paling populer di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Selama bertahun-tahun kopi telah menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari sebagian masyarakat Indonesia.

Catatan sejarah menyebutkan, budaya minum kopi telah mengakar kuat di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda.

Saat ini tren nongkrong di coffee shop kian menjamur dalam gaya hidup di kalangan anak muda. Kegiatan ini seringkali dilakukan sebagai cara menikmati waktu santai sekaligus menjalin pertemuan bersama teman.

Dari sebagian mereka, banyak juga yang menjadikan ngopi sebagai kebiasaan harian yang wajib dilakukan. Selain karena rasanya yang khas dan memberikan efek menyegarkan bagi jasmani untuk sekadar memulai aktivitas, ada juga yang menjadikannya sebagai terapi dari rasa penat seusai melaksanakan aktivitas harian yang melelahkan.

Namun, kebiasaan ngopi yang terlalu sering dilakukan tanpa disadari justru berdampak kurang baik bagi tubuh.

Menurut dr.Kevin Mulya S, Sp.N-FMIN, dokter spesialis saraf yang kini berpraktik di RS EMC Alam Sutera, pola konsumsi kafein yang berlebihan dapat memperburuk kondisi kecemasan. Bahkan, hal tersebut juga dapat memicu sakit kepala hingga menimbulkan ketergantungan.

 

Minuman kopi yang dikemas menarik sehingga menggugah selera para penikmatnya. (ANTARA/Nabila Charisty)

 

Dalam "Bincang Sehat" dengan ANTARA, Kevin Mulya menjelaskan bahwa kafein dalam jumlah tinggi membuat respon tubuh menjadi lebih semangat dan siap, sehingga bagi mereka yang memiliki bakat kecemasan, maka kecemasannya tersebut berpotensi lebih tinggi atau akan merasa lebih cemas.

“Jadi orang yang dengan bakat kecemasan minum kafein itu justru hati-hati karena dia membuat responnya lebih fight, dia lebih siap. Kecemasan lebih tinggi, maka mereka harus mengurangi,” katanya.

 

Ia menegaskan bahwa batas aman konsumsi kopi idealnya hanya satu hingga dua gelas per hari, sementara banyak orang justru mengonsumsi lima hingga sepuluh gelas tanpa memahami risikonya.

Menurutnya, kafein dalam jumlah tinggi dapat mengaktivasi sistem saraf simpatis atau bagian dari autonomic nervous system yang dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung dan munculnya rasa gelisah. Inilah mengapa, efek kafein dapat memperberat gejala pada individu yang memiliki kerentanan terhadap gangguan kecemasan (anxiety disorder).

Lebih lanjut, dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2014 itu menyarankan, bila ingin menghentikan kebiasaan mengonsumsi kafein seperti kopi, maka hindari penghentian konsumsi secara mendadak, khususnya pada peminum berat. Hal ini karena dapat menimbulkan sakit kepala akibat putus kafein, yang biasanya disertai rasa lelah, sulit konsentrasi, dan perubahan mood. Oleh karena itu, proses penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap untuk menghindari gejala withdrawal yang berat.

 

 

“Nah masalah kopi ini juga, mungkin banyak individu ketika menghentikan kopinya dia muncul sakit kepala. Jadi kafein itu bukan dianggap sebagai molekul yang biasa-biasa saja dalam kondisi berlebihan, itu juga menyebabkan sakit kepala. Bisa dikatakan adiksi. Makanya kalau sudah mengonsumsi kopi dalam jumlah banyak dan mau menghentikan maka dia harus diturunkan perlahan-perlahan,” ungkap dokter yang khusus menangani migren dan nyeri kepala tersebut.

Selain itu, menurut dokter yang telah mengikuti program pendidikan dan serangkaian protokol tentang penanganan dini kegawatdaruratan neurologis dari Neurocritical Care Society ini juga mengatakan masalah lain yang kerap terjadi di masyarakat adalah kebiasaan mengatasi sakit kepala dengan pil pereda nyeri atau analgesik.

 

"Tanpa disadari, pola konsumsinya dapat meningkat. Hal tersebut tentu menjadi masalah serius yang justru dapat memicu medication-overuse headache atau sakit kepala yang muncul akibat konsumsi analgesik yang berulang dan tidak terkontrol," katanya.

Terlebih, penggunaan obat pereda nyeri kepala yang berlebihan dapat menyebabkan risiko pada kerusakan fungsi hati dan menyebabkan radang pada lambung.

Bila dilihat dari komposisinya, biasanya obat generik yang mudah didapatkan di sekitar rumah seperti di warung, mengandung parasetamol dan kafein yang berfungsi meredakan sakit kepala dan nyeri serta menurunkan demam. Bahan tersebutlah yang jika dikonsumsi dalam jangka waktu panjang dapat berisiko menimbulkan komplikasi.

“Ini menjadi suatu permasalahan yang belum banyak dibahas. Individu yang mengonsumsi obat pil nyeri untuk meredakan sakit kepala, biasanya berpotensi mengonsumsi lebih sering. Dari satu hari sekali, menjadi 2 kali sehari, 3 kali sehari, sampai 3 kali 2 butir sehari dan seterusnya,” ungkap dokter Kevin.

Kondisi tersebut menurut dokter Kevin sering tidak disadari pasien karena keluhannya tampak seperti sakit kepala biasa, padahal kejadian tersebut terjadi akibat perubahan sensitivitas sistem saraf pusat terhadap obat.

Padahal, parasetamol memiliki batas maksimal 4 gram per hari atau sekitar delapan butir.

Untuk itu, dokter Kevin menganjurkan tidak semua keluhan pusing atau sakit kepala langsung diatasi dengan membeli obat bebas hingga mengurangi ketergantungan dengan meminum kopi.

"Sebab, sakit kepala adalah penyakit yang sering terjadi pada setiap orang, dan biasanya jika beristirahat tentunya keluhan ini akan menghilang dengan sendirinya. Namun, bila sakit kepala cenderung tidak lekas membaik setelah beristirahat, maka individu perlu berkonsultasi ke dokter untuk memastikan penyebabnya dan mencegah risiko penggunaan obat yang salah," demikian kata dr.Kevin Mulya S, Sp.N-FMIN.

 


Pewarta : Nabila Anisya Charisty
Editor : Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2025