Jogja (ANTARA Jogja) - Lima mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta merintis "Kampoeng Kelinci" bagi penyandang disabilitas intelektual di Karangpatihan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

"`Kampoeng Kelinci` diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan para penyandang disabilitas intelektual dalam beternak kelinci, sehingga dapat melatih kemandirian," kata salah seorang mahasiswa Yuni Nurfiana Wulandari di Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia, perintisan "Kampoeng Kelinci" itu diawali dengan sosialisasi kepada masyarakat, kemudian dilanjutkan dengan penyuluhan tentang beternak kelinci, lokakarya pembuatan kandang, penyerahan bibit kelinci, dan pembinaan kepada warga yang sudah menerima bibit yang saat ini masih terus berlangsung.

"Penyandang disabilitas intelektual di Karangpatihan yang mengikuti program `Kampoeng Kelinci` sebanyak 25 orang dengan didampingi 25 warga normal sebagai model," katanya.

Ia mengatakan, saat ini terdapat 50 peternak kelinci yang tergabung dalam kelompok "Kampoeng Kelinci". Selain itu, juga telah terbentuk struktur organisasi kelompok "Kampoeng Kelinci" di Karangpatihan.

"Keberhasilan perintisan `Kampoeng Kelinci` disebabkan motivasi yang tinggi dengan daya dukung lingkungan yang menyediakan pakan melimpah, bibit kelinci, fasilitas kandang, dan adanya pendampingan oleh warga normal kepada para penyandang disabilitas intelektual dalam beternak kelinci," katanya.

Menurut dia, keberhasilan program itu juga tidak lepas dari kerja sama berbagai pihak di antaranya warga dan perangkat Karangpatihan, Peternakan 543 Kelinci, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Mandiri Ponorogo, dan Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita Kartini Temanggung yang berada di bawah koordinasi Kementerian Sosial.

"Melalui `Kampoeng Kelinci` bagi penyandang disabilitas intelektual itu diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat yang semula berpikiran penyandang disabilitas intelektual selama masih hidup adalah beban masyarakat kini telah beralih bahwa ternyata mereka dapat menunjukkan potensinya dalam beternak kelinci," katanya.

Ia mengatakan, penyandang disabilitas intelektual membutuhkan kesempatan untuk menunjukkan potensinya melalui pembimbingan dan pembinaan yang sesuai dengan kemampuan mereka. Oleh karena itu, peran model dari masyarakat nondisabilitas intelektual yang memadai dapat memperlancar pelaksanaan program.

"Disabilitas intelektual merupakan permasalahan psikologis yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan baik sosial maupun ekonomi," katanya.

Menurut dia, di Karangpatihan sebanyak 64 jiwa merupakan penyandang disabilitas intelektual sehingga desa tersebut pernah dijuluki sebagai "Kampoeng Idiot".

"Kondisi yang lebih memprihatinkan adalah ketika banyak yang menganggap para penyandang disabilitas intelektual tersebut sebagai beban karena kehidupan mereka masih sangat bergantung pada penduduk normal yang ada di sekitarnya," katanya.

Selain Yuni, mahasiswa FMIPA UNY yang ikut merintis "Kampoeng Kelinci" adalah Essy Purwaningtyas, Dwi Ayu Novita A, Nur Hera Utami, dan Maria Wulandari.

(B015)

Pewarta :
Editor : Masduki Attamami
Copyright © ANTARA 2024