Jakarta (ANTARA Jogja) - Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Faisal Basri menilai arah kebijakan ekonomi Indonesia yang memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pasar tidak didasarkan pada ideologi negara.
"Sesuai dengan amanah konstitusi, salah satu tujuan negara Indonesia adalah menyejahterakan rakyat," kata Faisal Basri pada diskusi "Yellow Forum for Young Leaders" di Jakarta, Minggu.
Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah salah seorang pendiri "Yellow Forum for Young Leaders" (YFYL) Heru Dewanto dan dihadiri sejumlah aktivis pemuda.
Menurut dia, dengan adanya ideologi negara, arah kebijakan ekonomi Indonesia tidak sepenuhnya memberikan kekebasan kepada pasar, tetapi ada keberpihakan kepada bangsa dan negara.
Keberpihakan tersebut, menurut dia, melalui nasionalisme ekonomi, yakni tekad untuk mendorong kemajuan ekonomi nasional dengan potensi yang sebesar-besarnya untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
"Nasinalisme ekonomi diperlukan elemen jaring pasar untuk melaindungi pelaku ekonomi berskala kecil dan lemah, bukannya malah saling adu kuat," katanya.
Menurut dia, kebijakan ekonomi untuk memajukan ekonomi nasional sekaligus melindungi pelaku ekonomi yang lemah perlu adanya ideologi yang jelas, yakni sekumpulan nilai-nilai yang diyakini untuk mencapai tujuan dan ada kendaraan untuk mencapainya.
Jika kebijakan ekonomi nasional didasarkan pada ideologi negara, menurut dia, arahnya akan menjadi lebih jelas serta memiliki daya tahan.
"Daya tahan ekonomi adalah kemampuan untuk cepat kembali ke kondisi semula setelah mengalami goncangan, baik dari eksternal maupun internal," katanya.
Faisal melihat salah satu kendala tersebut adalah regulasi yang sering berubah sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi, misalnya menurunkan minat investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Mantan Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) ini menilai Indonesia adalah negara yang sangat kaya sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM).
Namun, dengan kebijakan ekonomi yang tidak didasarkan pada ideologi negara, menurut dia, Indonesia ang semula menjadi eksportir minyak dunia sekarang berbalik menjadi importir.
"Saat ini, Indonesia adalah impor BBM terbesar di Indonesia," katanya.
Demikian juga dengan infrastruktur dan pangan, menurut dia, Indonesia yang sebelumnya surplus pangan, tetapi saat ini menjadi importir pangan.
Sementara itu, salah seorang pendiri YFYL, Heru Dewanto, mengimbau agar pemerintah Indonesia lebih proaktif untuk meningkatkan perttumbuhan ekonomi dan menyejahterakan rakyat.
Menurut dia, untuk meningkatkan pertumbuhan Indonesia, pemerintah Indonesia tidak cukup hanya membuat regulasi, kemudian memberikan kekebasan sepenuhnya terhadap serbuan produk asing.
"Dengan kondisi itu, ekonomi Indonesia memang tumbuh, tetapi tidak merata. Jumlah orang kaya meningkat, tetapi jumlah orang miskin juga bertambah banyak," katanya.
Ia mengimbau agar pemerintah turut berperan aktif untuk mekajuan ekonomi sekaligus melindungi rakyat yang lemah, seperti halnya di China dan Korea.
Kedua negara tersebut, menurut dia, sudah menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia.
(R024)
"Sesuai dengan amanah konstitusi, salah satu tujuan negara Indonesia adalah menyejahterakan rakyat," kata Faisal Basri pada diskusi "Yellow Forum for Young Leaders" di Jakarta, Minggu.
Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah salah seorang pendiri "Yellow Forum for Young Leaders" (YFYL) Heru Dewanto dan dihadiri sejumlah aktivis pemuda.
Menurut dia, dengan adanya ideologi negara, arah kebijakan ekonomi Indonesia tidak sepenuhnya memberikan kekebasan kepada pasar, tetapi ada keberpihakan kepada bangsa dan negara.
Keberpihakan tersebut, menurut dia, melalui nasionalisme ekonomi, yakni tekad untuk mendorong kemajuan ekonomi nasional dengan potensi yang sebesar-besarnya untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
"Nasinalisme ekonomi diperlukan elemen jaring pasar untuk melaindungi pelaku ekonomi berskala kecil dan lemah, bukannya malah saling adu kuat," katanya.
Menurut dia, kebijakan ekonomi untuk memajukan ekonomi nasional sekaligus melindungi pelaku ekonomi yang lemah perlu adanya ideologi yang jelas, yakni sekumpulan nilai-nilai yang diyakini untuk mencapai tujuan dan ada kendaraan untuk mencapainya.
Jika kebijakan ekonomi nasional didasarkan pada ideologi negara, menurut dia, arahnya akan menjadi lebih jelas serta memiliki daya tahan.
"Daya tahan ekonomi adalah kemampuan untuk cepat kembali ke kondisi semula setelah mengalami goncangan, baik dari eksternal maupun internal," katanya.
Faisal melihat salah satu kendala tersebut adalah regulasi yang sering berubah sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi, misalnya menurunkan minat investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Mantan Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) ini menilai Indonesia adalah negara yang sangat kaya sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM).
Namun, dengan kebijakan ekonomi yang tidak didasarkan pada ideologi negara, menurut dia, Indonesia ang semula menjadi eksportir minyak dunia sekarang berbalik menjadi importir.
"Saat ini, Indonesia adalah impor BBM terbesar di Indonesia," katanya.
Demikian juga dengan infrastruktur dan pangan, menurut dia, Indonesia yang sebelumnya surplus pangan, tetapi saat ini menjadi importir pangan.
Sementara itu, salah seorang pendiri YFYL, Heru Dewanto, mengimbau agar pemerintah Indonesia lebih proaktif untuk meningkatkan perttumbuhan ekonomi dan menyejahterakan rakyat.
Menurut dia, untuk meningkatkan pertumbuhan Indonesia, pemerintah Indonesia tidak cukup hanya membuat regulasi, kemudian memberikan kekebasan sepenuhnya terhadap serbuan produk asing.
"Dengan kondisi itu, ekonomi Indonesia memang tumbuh, tetapi tidak merata. Jumlah orang kaya meningkat, tetapi jumlah orang miskin juga bertambah banyak," katanya.
Ia mengimbau agar pemerintah turut berperan aktif untuk mekajuan ekonomi sekaligus melindungi rakyat yang lemah, seperti halnya di China dan Korea.
Kedua negara tersebut, menurut dia, sudah menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia.
(R024)