Jogja (Antara) - Peresmian gapura "Kampoeng Ketandan" oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, Rabu, menandai pembukaan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta VIII yang berlangsung hingga Minggu (24/2).
Gapura yang didominasi warna merah dengan hiasan naga melilit di kedua tiang menjadi penanda daerah "chinatown" di Yogyakarta.
Meskipun didominasi ragam hias dan ornamen khas China, gapura yang dibangun dalam waktu sekitar dua bulan tersebut juga tetap mengakomodasi budaya lokal, dengan munculnya tulisan Jawa di papan penanda nama gapura.
"Gapura ini menjadi penanda budaya Tionghoa yang juga tumbuh dan berkembang di Yogyakarta. Ada unsur dialog budaya yang berkembang di sini," kata Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X di sela-sela peresmian gapura.
Ia pun menilai, pembangunan gapura tersebut membawa implikasi yang baik bagi lingkungan sekitar yaitu kondisi lingkungan yang tampil semakin bersih dan tertata.
"Tetapi, jangan hanya berhenti di sini saja. Harus ada penataan-penataan lagi, dari reklame dan kondisi fisik bangunan agar tidak kusam," lanjutnya.
Ia pun berharap, gapura Kampoeng Ketandan dan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) yang telah menjadi kegiatan tahunan tersebut mampu menjadi ikon dan pengisi agenda wisata di Kota Yogyakarta.
"Harapan saya, akan tumbuh kampung-kampung serupa di Yogyakarta.
Sementara itu, Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengatakan Ketandan adalah "living museum" tentang kehidupan orang-orang Tionghoa di Yogyakarta.
"Bagaimanapun juga, Ketandan adalah bagian dari perjalanan sejarah Kota Yogyakarta. Di kampung ini, tumbuh keragaman budaya dan tradisi Tionghoa," katanya.
Ia menambahkan Yogyakarta adalah kota yang plural sehingga toleransi antara masyarakat dalam kehidupan sehari-hari merupakan faktor penting yang perlu terus dijaga dan dikembangkan.
"Pemerintah memerlukan dukungan semua pihak untuk menjadikan Yogyakarta sebagai kota yang berbudaya dengan wawasan global. Jangan sampai terkotak-kotak hanya karena perbedaan etnis," katanya.
Mengenai gapura "Kampoeng Ketandan", Haryadi pun berharap akan mampu menjadi ikon wisata di Yogyakarta khususnya bagi wisatawan yang ingin bernostalgia menikmati tradisi Tionghoa khas Yogyakarta.
Dalam peresmian tersebut, juga ditampilkan tradisi samsi, yaitu Sultan memberikan sawi putih kepada dua barongsai.
Selain bazaar dan berbagai kegiatan kesenian lainnya, PBTY VIII juga dimeriahkan dengan kegiatan karnaval serta festival naga pada Sabtu (23/2) di sepanjang Jalan Malioboro hingga Titik Nol Kilometer.
(E013)
Gapura yang didominasi warna merah dengan hiasan naga melilit di kedua tiang menjadi penanda daerah "chinatown" di Yogyakarta.
Meskipun didominasi ragam hias dan ornamen khas China, gapura yang dibangun dalam waktu sekitar dua bulan tersebut juga tetap mengakomodasi budaya lokal, dengan munculnya tulisan Jawa di papan penanda nama gapura.
"Gapura ini menjadi penanda budaya Tionghoa yang juga tumbuh dan berkembang di Yogyakarta. Ada unsur dialog budaya yang berkembang di sini," kata Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X di sela-sela peresmian gapura.
Ia pun menilai, pembangunan gapura tersebut membawa implikasi yang baik bagi lingkungan sekitar yaitu kondisi lingkungan yang tampil semakin bersih dan tertata.
"Tetapi, jangan hanya berhenti di sini saja. Harus ada penataan-penataan lagi, dari reklame dan kondisi fisik bangunan agar tidak kusam," lanjutnya.
Ia pun berharap, gapura Kampoeng Ketandan dan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) yang telah menjadi kegiatan tahunan tersebut mampu menjadi ikon dan pengisi agenda wisata di Kota Yogyakarta.
"Harapan saya, akan tumbuh kampung-kampung serupa di Yogyakarta.
Sementara itu, Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengatakan Ketandan adalah "living museum" tentang kehidupan orang-orang Tionghoa di Yogyakarta.
"Bagaimanapun juga, Ketandan adalah bagian dari perjalanan sejarah Kota Yogyakarta. Di kampung ini, tumbuh keragaman budaya dan tradisi Tionghoa," katanya.
Ia menambahkan Yogyakarta adalah kota yang plural sehingga toleransi antara masyarakat dalam kehidupan sehari-hari merupakan faktor penting yang perlu terus dijaga dan dikembangkan.
"Pemerintah memerlukan dukungan semua pihak untuk menjadikan Yogyakarta sebagai kota yang berbudaya dengan wawasan global. Jangan sampai terkotak-kotak hanya karena perbedaan etnis," katanya.
Mengenai gapura "Kampoeng Ketandan", Haryadi pun berharap akan mampu menjadi ikon wisata di Yogyakarta khususnya bagi wisatawan yang ingin bernostalgia menikmati tradisi Tionghoa khas Yogyakarta.
Dalam peresmian tersebut, juga ditampilkan tradisi samsi, yaitu Sultan memberikan sawi putih kepada dua barongsai.
Selain bazaar dan berbagai kegiatan kesenian lainnya, PBTY VIII juga dimeriahkan dengan kegiatan karnaval serta festival naga pada Sabtu (23/2) di sepanjang Jalan Malioboro hingga Titik Nol Kilometer.
(E013)