Gunung Kidul, (Antara Jogja) - Dinas Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta membuat pusat pembenihan kakao mandiri di Kabupaten Gunung Kidul agar menjadi komoditas unggulan di daerah ini.
Kepala Dinas Kehutanan DIY Sutarto di Gunung Kidul, Jumat, mengatakan tanaman kakao di Yogyakarta mulai diperkenalkan pada 1987 melalui Bantuan Presiden (Banpres) dan bantuan lainnya yang berasal dari pemerintah pusat yang diberikan kepada petani.
Saat itu, selain bantuan dalam bentuk bibit, masyarakat diberikan pendampingan dalam melakukan penamanan dan perawatan.
"Perjuangan cukup berat dalam memperkenalkan tanaman kakao kepada masyarakat," kata Sutarto di UPT Pembenihan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Gunung Kidul.
Setelah melakukan perjuangan cukup panjang, kata dia, tanaman kakao mampu diterima masyarakat, meski diakuinya sampai saat ini belum bisa menyamai produksi yang ada di Sulawesi. Saat ini tanaman kakao di DIY mencapai 4.200 hektare yang berada di Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul. Adapun sebagian besar berada di Kulon Progo yang berada di Kecamatan Kalibawang, kemudian di Gunung Kidul berada di Kecamatan Patuk.
"Saat ini, tanaman kakao di Gunung Kidul baru sekitar 1.300 hektare, namun sudah berperan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat," katanya.
Sutarto mengatakan sesuai arahan Gubernur DIY Sri Sultan HB X, pengembangan tanaman kakao sebaiknya dikembangkan lebih luas, tidak hanya di level desa, namun sudah sampai ke kecamatan.
"Ke depan tidak hanya desa tetapi pengembangan tingkat kecamatan," ucapnya.
Sementara, Plt Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Gunung Kidul Khairudin mengatakan pengembangan tanaman kakao di Gunung Kidul cukup baik. Selian di Patuk, kakao dikembangkan di Kecamatan Ponjong, Gedangsari dan Nglipar.
"Perkembangan tanaman kakao di Gunung Kidul cukup baik. Ke depan, kami berharap terus ditingkatkan," katanya.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Gunung Kidul Bambang WIsnu Broto menjelaskan pengembangan tanaman kakao di Gunung Kidul memang tidak selamanya berjalan dengan baik karena adanya penyakit Vaskular Streak Dieback (VSD) yang menyebabkan kerusakan pada batang sehingga produksi tidak maksimal.
Ia mengatakan produksi tanaman kakao di Gunung Kidul rata-rata setiap pohon 0,7 kg atau dibawah rata-rata yakni 1 kg.
"Kami berupaya meningkatkan produksi salah satunya dengann pusat pembenihan mandiri," katanya.
Bambang berharap pusat pembenihan mandiri di UPT Pembenihan diharapkan bisa mencukupi kebutuhan kakao kualitas unggul. Di sini dikembangkan bibit kakalo jenis Sulawesi 1 dan Sulawesi 5858. Diharapkan dengan adanya bibit yang diproduksi mandiri ini bisa mengurangi pengeluaran petani untuk membeli bibit.
"Selama ini kebutuhan bibit dipenuhi dari luar daerah, sehingga biaya yang dibutuhkan petani lebih besar," katanya. ***3***
(KR-STR)
Kepala Dinas Kehutanan DIY Sutarto di Gunung Kidul, Jumat, mengatakan tanaman kakao di Yogyakarta mulai diperkenalkan pada 1987 melalui Bantuan Presiden (Banpres) dan bantuan lainnya yang berasal dari pemerintah pusat yang diberikan kepada petani.
Saat itu, selain bantuan dalam bentuk bibit, masyarakat diberikan pendampingan dalam melakukan penamanan dan perawatan.
"Perjuangan cukup berat dalam memperkenalkan tanaman kakao kepada masyarakat," kata Sutarto di UPT Pembenihan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Gunung Kidul.
Setelah melakukan perjuangan cukup panjang, kata dia, tanaman kakao mampu diterima masyarakat, meski diakuinya sampai saat ini belum bisa menyamai produksi yang ada di Sulawesi. Saat ini tanaman kakao di DIY mencapai 4.200 hektare yang berada di Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul. Adapun sebagian besar berada di Kulon Progo yang berada di Kecamatan Kalibawang, kemudian di Gunung Kidul berada di Kecamatan Patuk.
"Saat ini, tanaman kakao di Gunung Kidul baru sekitar 1.300 hektare, namun sudah berperan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat," katanya.
Sutarto mengatakan sesuai arahan Gubernur DIY Sri Sultan HB X, pengembangan tanaman kakao sebaiknya dikembangkan lebih luas, tidak hanya di level desa, namun sudah sampai ke kecamatan.
"Ke depan tidak hanya desa tetapi pengembangan tingkat kecamatan," ucapnya.
Sementara, Plt Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Gunung Kidul Khairudin mengatakan pengembangan tanaman kakao di Gunung Kidul cukup baik. Selian di Patuk, kakao dikembangkan di Kecamatan Ponjong, Gedangsari dan Nglipar.
"Perkembangan tanaman kakao di Gunung Kidul cukup baik. Ke depan, kami berharap terus ditingkatkan," katanya.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Gunung Kidul Bambang WIsnu Broto menjelaskan pengembangan tanaman kakao di Gunung Kidul memang tidak selamanya berjalan dengan baik karena adanya penyakit Vaskular Streak Dieback (VSD) yang menyebabkan kerusakan pada batang sehingga produksi tidak maksimal.
Ia mengatakan produksi tanaman kakao di Gunung Kidul rata-rata setiap pohon 0,7 kg atau dibawah rata-rata yakni 1 kg.
"Kami berupaya meningkatkan produksi salah satunya dengann pusat pembenihan mandiri," katanya.
Bambang berharap pusat pembenihan mandiri di UPT Pembenihan diharapkan bisa mencukupi kebutuhan kakao kualitas unggul. Di sini dikembangkan bibit kakalo jenis Sulawesi 1 dan Sulawesi 5858. Diharapkan dengan adanya bibit yang diproduksi mandiri ini bisa mengurangi pengeluaran petani untuk membeli bibit.
"Selama ini kebutuhan bibit dipenuhi dari luar daerah, sehingga biaya yang dibutuhkan petani lebih besar," katanya. ***3***
(KR-STR)