Yogyakarta (Antaranews Jogja) - Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi memasukkan skenario dinding kawah Gunung Merapi runtuh sebagai bagian dari rencana kontingensi bencana menyusul peningkatan aktivitas gunung api aktif itu sejak pertengahan Mei.
“Kemungkinan dinding kawah yang runtuh menjadi perhatian kami. Kondisi tersebut masuk dalam skenario yang kemudian menjadi dasar bagi wilayah untuk menyusun rencana kontingensi,” kata Kepala Seksi Gunung Merapi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Agus Budi Santoso di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, BPPTKG terus melakukan pemantauan terhadap kondisi morfologi puncak dan kawah Gunung Merapi menggunakan sejumlah peralatan pemantauan mulai dari kamera dengan resolusi tinggi termasuk pemodelan kondisi kawah berdasarkan citra yang diperoleh.
Pemantauan juga dilakukan melalui analisa terhadap suhu di kawah. BPPTKG membagi kawah dalam empat area pemantauan suhu. Berdasarkan skenario yang disusun BPPTKG, penyebab utama yang bisa menyebabkan dinding kawah runtuh adalah desakan kubah lava dari bawah.
“Kubah lava yang akan terbentuk terus mendesak dinding kawah di sekitarnya sehingga bisa saja dinding tersebut runtuh. Dinding kawah yang menjadi perhatian kami adalah dinding yang terbentuk dari lava letusan Merapi pada 1997,” katanya.
Selain memantau kondisi stabilitas dinding kawah, BPPTKG juga sudah menyusun skenario apabila terjadi pertumbuhan kubah lava hingga erupsi efusif yang dimungkinkan mengarah ke tiga lokasi yaitu ke sisi selatan atau masuk Sungai Gendol serta mengarah ke barat dan barat laut.
Sementara itu, Kepala BPPTKG Hanik Humaida mengatakan, meskipun dalam beberapa hari terakhir aktivitas Gunung Merapi cukup tenang, namun masih kerap terjadi hembusan. “Artinya, aktivitas vulkanik Merapi masih tinggi yang didominasi pelepasan gas. Status waspada pun tetap masih akan dipertahankan,” katanya.
Hanik menyebut, peningkatan aktivitas vulkanik Merapi yang ditandai dengan terjadinya beberapa kali letusan freatik setelah mengalami letusan besar pada 2010 juga ditemui setelah letusan besar Merapi pada 1872. “Setelah letusan besar kemudian diikuti erupsi seperti yang terjadi sekarang dan kemudian terbentuk kubah lava pada 1883,” katanya.
BPPTKG berharap, Merapi memberikan tanda-tanda yang jelas terkait aktivitas vulkaniknya seperti yang terjadi sebelum letusan 2006 dan 2010.
“Saat itu, tanda-tanda awal akan terjadinya erupsi bisa terdeteksi dengan jelas. Namun sekarang, belum ada perubahan indikasi yang signifikan dari berbagai peralatan pemantauan yang kami tempatkan,” katanya.
Hanik menyebut, tanda-tanda awal akan terjadi erupsi dimungkinkan tidak akan sama persis seperti saat letusan 2006 dan 2010 karena sumbat lava di puncak Merapi sudah terbuka.
Sedangkan dari beberapa kali letusan yang terjadi sejak pertengahan Mei, jumlah material vulkanik yang dihasilkan tercatat kurang dari 100.000 meter kubik dengan lontaran material jatuhan dalam radius kurang dari tiga kilometer.
“Kemungkinan dinding kawah yang runtuh menjadi perhatian kami. Kondisi tersebut masuk dalam skenario yang kemudian menjadi dasar bagi wilayah untuk menyusun rencana kontingensi,” kata Kepala Seksi Gunung Merapi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Agus Budi Santoso di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, BPPTKG terus melakukan pemantauan terhadap kondisi morfologi puncak dan kawah Gunung Merapi menggunakan sejumlah peralatan pemantauan mulai dari kamera dengan resolusi tinggi termasuk pemodelan kondisi kawah berdasarkan citra yang diperoleh.
Pemantauan juga dilakukan melalui analisa terhadap suhu di kawah. BPPTKG membagi kawah dalam empat area pemantauan suhu. Berdasarkan skenario yang disusun BPPTKG, penyebab utama yang bisa menyebabkan dinding kawah runtuh adalah desakan kubah lava dari bawah.
“Kubah lava yang akan terbentuk terus mendesak dinding kawah di sekitarnya sehingga bisa saja dinding tersebut runtuh. Dinding kawah yang menjadi perhatian kami adalah dinding yang terbentuk dari lava letusan Merapi pada 1997,” katanya.
Selain memantau kondisi stabilitas dinding kawah, BPPTKG juga sudah menyusun skenario apabila terjadi pertumbuhan kubah lava hingga erupsi efusif yang dimungkinkan mengarah ke tiga lokasi yaitu ke sisi selatan atau masuk Sungai Gendol serta mengarah ke barat dan barat laut.
Sementara itu, Kepala BPPTKG Hanik Humaida mengatakan, meskipun dalam beberapa hari terakhir aktivitas Gunung Merapi cukup tenang, namun masih kerap terjadi hembusan. “Artinya, aktivitas vulkanik Merapi masih tinggi yang didominasi pelepasan gas. Status waspada pun tetap masih akan dipertahankan,” katanya.
Hanik menyebut, peningkatan aktivitas vulkanik Merapi yang ditandai dengan terjadinya beberapa kali letusan freatik setelah mengalami letusan besar pada 2010 juga ditemui setelah letusan besar Merapi pada 1872. “Setelah letusan besar kemudian diikuti erupsi seperti yang terjadi sekarang dan kemudian terbentuk kubah lava pada 1883,” katanya.
BPPTKG berharap, Merapi memberikan tanda-tanda yang jelas terkait aktivitas vulkaniknya seperti yang terjadi sebelum letusan 2006 dan 2010.
“Saat itu, tanda-tanda awal akan terjadinya erupsi bisa terdeteksi dengan jelas. Namun sekarang, belum ada perubahan indikasi yang signifikan dari berbagai peralatan pemantauan yang kami tempatkan,” katanya.
Hanik menyebut, tanda-tanda awal akan terjadi erupsi dimungkinkan tidak akan sama persis seperti saat letusan 2006 dan 2010 karena sumbat lava di puncak Merapi sudah terbuka.
Sedangkan dari beberapa kali letusan yang terjadi sejak pertengahan Mei, jumlah material vulkanik yang dihasilkan tercatat kurang dari 100.000 meter kubik dengan lontaran material jatuhan dalam radius kurang dari tiga kilometer.