Sleman, (Antaranews Jogja) - Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta berupaya merevitalisasi kesenian tradisional Wayang Topeng yang saat ini sudah terancam punah keberadaannya.
"Dalam kajian yang kami lakukan, hanya ada satu kesenian jenis Wayang Topeng pedalangan di Sleman, yaitu di Dusun Ngajeg, Tirtomartani, yang dikelola oleh Ki Sugeng Tjermahandoko dan Ki Suparno," kata Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman Aji Wulantara di Sleman, Minggu.
Menurut dia, untuk di daerah Kabupaten Sleman bagian Barat juga terdapat potensi wayang topeng pedalangan yang para pelaku, pemain, dan pelestari beberapa di antaranya masih hidup.
"Salah satunya adalah Ki Sugati dengan alamat Nyangkringan, Margodadi, Seyegan. Berdasarkan keterangan Sugati (Dalang Ki Sugati) Dusun Nyangkringan, Margodadi, Seyegan, Sleman, disebutkan bahwa Wayang Topeng Pedalangan di Sleman Barat pertama kali ada sekitar tahun 1825 oleh Ki Tjermasono, putra dari Ki Setrosono yang bertempat tinggal di Dusun Ngepringan, Minggir, Sleman," katanya.
Ia mengatakan, Wayang Topeng Pedalangan merupakan hasil kreasi para dalang pada saat itu yang bersumber dari Wayang Topeng ciptaan Sunan Kalijogo sebagai sarana dakwah agama Islam di Jawa.
"Sedangkan pedalangan itu sendiri sudah ada sejak Kerajaan Kalingga di Kediri dengan menggunakan sarana Beber, sehingga dikenal dengan wayang beber. Dalang yang menggunakan wayang kulit semenjak Lintang Karahinan putra tertua Raja Brawijaya V Kerajaan Majapahit menciptakan wayang yang bahannya dari kulit," katanya.
Aji mengatakan, demikian halnya wayang topeng, juga diciptakan bersamaan dengan wayang kulit oleh orang yang sama.
"Dalam ceritanya terdapat pitutur luhur bagi kehidupan manusia yakni jangan sampai melupakan siapa dirinya apabila sudah mendapatkan drajat, pangkat dan kedudukan serta tidak boleh sewenang-wenang terhadap orang lain, serta masih banyak hikmah yang dipetik dari cerita-cerita wayang topeng," katanya.
Ia mengatakan, cerita wayang topeng pedalangan diantaranya "Bancak nJolo", "Rabine Bancak", "Rabine Sinom Berdapa", "Rabine Jaka Semawung", "Rabine Ragil Kuning, "Ande-ande Lumut", "Ketek Ogleng", "Timun Mas", "Brambang Abang Brambang Putih".
"Perkembangan dari waktu ke waktu keadaan Wayang Topeng Pedalangan sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, politik, dan sosial masyarakat sesuai dengan perkembangan jamannya di Indonesia," katanya.
Menurut sumber yang dipercaya, kata dia, eksistensi Wayang Topeng Pedalangan ini sejarahnya dapat ditelusur dengan berpedoman pada masa Kasultanan Yogyakarta.
"Mulai dari Bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) VI sampai dengan Sri Sultan HB IX atau jaman kemerdekaan," katanya.
"Dalam kajian yang kami lakukan, hanya ada satu kesenian jenis Wayang Topeng pedalangan di Sleman, yaitu di Dusun Ngajeg, Tirtomartani, yang dikelola oleh Ki Sugeng Tjermahandoko dan Ki Suparno," kata Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman Aji Wulantara di Sleman, Minggu.
Menurut dia, untuk di daerah Kabupaten Sleman bagian Barat juga terdapat potensi wayang topeng pedalangan yang para pelaku, pemain, dan pelestari beberapa di antaranya masih hidup.
"Salah satunya adalah Ki Sugati dengan alamat Nyangkringan, Margodadi, Seyegan. Berdasarkan keterangan Sugati (Dalang Ki Sugati) Dusun Nyangkringan, Margodadi, Seyegan, Sleman, disebutkan bahwa Wayang Topeng Pedalangan di Sleman Barat pertama kali ada sekitar tahun 1825 oleh Ki Tjermasono, putra dari Ki Setrosono yang bertempat tinggal di Dusun Ngepringan, Minggir, Sleman," katanya.
Ia mengatakan, Wayang Topeng Pedalangan merupakan hasil kreasi para dalang pada saat itu yang bersumber dari Wayang Topeng ciptaan Sunan Kalijogo sebagai sarana dakwah agama Islam di Jawa.
"Sedangkan pedalangan itu sendiri sudah ada sejak Kerajaan Kalingga di Kediri dengan menggunakan sarana Beber, sehingga dikenal dengan wayang beber. Dalang yang menggunakan wayang kulit semenjak Lintang Karahinan putra tertua Raja Brawijaya V Kerajaan Majapahit menciptakan wayang yang bahannya dari kulit," katanya.
Aji mengatakan, demikian halnya wayang topeng, juga diciptakan bersamaan dengan wayang kulit oleh orang yang sama.
"Dalam ceritanya terdapat pitutur luhur bagi kehidupan manusia yakni jangan sampai melupakan siapa dirinya apabila sudah mendapatkan drajat, pangkat dan kedudukan serta tidak boleh sewenang-wenang terhadap orang lain, serta masih banyak hikmah yang dipetik dari cerita-cerita wayang topeng," katanya.
Ia mengatakan, cerita wayang topeng pedalangan diantaranya "Bancak nJolo", "Rabine Bancak", "Rabine Sinom Berdapa", "Rabine Jaka Semawung", "Rabine Ragil Kuning, "Ande-ande Lumut", "Ketek Ogleng", "Timun Mas", "Brambang Abang Brambang Putih".
"Perkembangan dari waktu ke waktu keadaan Wayang Topeng Pedalangan sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, politik, dan sosial masyarakat sesuai dengan perkembangan jamannya di Indonesia," katanya.
Menurut sumber yang dipercaya, kata dia, eksistensi Wayang Topeng Pedalangan ini sejarahnya dapat ditelusur dengan berpedoman pada masa Kasultanan Yogyakarta.
"Mulai dari Bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) VI sampai dengan Sri Sultan HB IX atau jaman kemerdekaan," katanya.