Yogyakarta (Antaranews Jogja) - Pemerintah Kota Yogyakarta difasilitasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang memasang papan imbauan di Sungai Winongo agar masyarakat tidak melanggar garis sempadan sungai.
“Tujuan pemasangan papan adalah untuk pembinaan dan pembelajaran ke masyarakat bahwa sempadan harus difungsikan sesuai fungsinya sehingga tidak menimbulkan kerugian atau mengancam keselamatan masyarakat yang tinggal di bantaran sungai,” kata Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kota Yogyakarta Hari Setya Wacana di Yogyakarta, Selasa.
Pada tahap awal, baru ada tiga papan imbauan yang akan dipasang di bantaran Sungai Winongo yang masuk wilayah Kecamatan Tegalrejo.
“Nantinya, jumlah papan imbauan akan terus ditambah dan dipasang di seluruh sungai besar yang ada di Kota Yogyakarta. Harapannya, masyarakat memiliki kesadaran agar tidak melanggar sempadan sungai,” katanya.
Hari pun menegaskan, papan imbauan tersebut tidak berfungsi sebagai batas sempadan atau patok tetapi berisi informasi mengenai garis sempadan dan sanksi apabila melakukan pelanggaran garis sempadan.
“Papan imbauan ini bukan patok atau batas sempadan. Lembaga yang berwenang untuk menentukan garis sempadan dari tiga sungai besar yang membelah Kota Yogyakarta berada di tangan Balai Besar Wilayah Serayu Opak (BBWSO),” katanya.
Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28 Tahun 2015 dinyatakan bahwa jarak sempadan sungai untuk sungai di perkotaan adalah tiga meter jika sungai sudah memiliki tanggul atau 10 meter jika sungai belum dilengkapi tanggul.
Oleh karena itu, jika ada masyarakat yang ingin membangun bangunan atau memanfaatkan wilayah di bantaran sungai, maka wajib mengajukan permohonan kajian ke BBWSO guna memastikan bahwa mereka tidak melanggar sempadan sungai atau aturan lainnya.
Khusus di Sungai Winongo, lanjut Hari, masih ada masyarakat yang disinyalir melanggar garis sempadan. “Sebagian besar adalah bangunan nonpermanen meskipun ada juga bangunan permanen,” katanya.
Ia mengatakan, warga yang memiliki bangunan tersebut akan diberi penjelasan mengenai sempadan sungai dan pada tahap selanjutnya adalah meminta masyarakat untuk tidak melanggar sempadan.
Berdasarkan pendekatan yang dilakukan, lanjut Hari, sudah ada beberapa warga yang kemudian berinisiatif memundurkan rumahnya agar tidak berada terlalu dekat dengan sungai. “Artinya, masyarakat secara perlahan-lahan sudah memiliki kesadaran untuk memberikan ruang yang lebih kepada sungai,” katanya.
Ia berharap, pembinaan dan pembelajaran terkait garis sempadan sungai tersebut menjadi bagian dari upaya penataan sungai.
“Sungai juga harus tertata rapi karena menjadi bagian wajah kota. Penataan sungai juga dilakukan demi menjaga keselamatan warga yang tinggal di bantaran,” katanya.
“Tujuan pemasangan papan adalah untuk pembinaan dan pembelajaran ke masyarakat bahwa sempadan harus difungsikan sesuai fungsinya sehingga tidak menimbulkan kerugian atau mengancam keselamatan masyarakat yang tinggal di bantaran sungai,” kata Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kota Yogyakarta Hari Setya Wacana di Yogyakarta, Selasa.
Pada tahap awal, baru ada tiga papan imbauan yang akan dipasang di bantaran Sungai Winongo yang masuk wilayah Kecamatan Tegalrejo.
“Nantinya, jumlah papan imbauan akan terus ditambah dan dipasang di seluruh sungai besar yang ada di Kota Yogyakarta. Harapannya, masyarakat memiliki kesadaran agar tidak melanggar sempadan sungai,” katanya.
Hari pun menegaskan, papan imbauan tersebut tidak berfungsi sebagai batas sempadan atau patok tetapi berisi informasi mengenai garis sempadan dan sanksi apabila melakukan pelanggaran garis sempadan.
“Papan imbauan ini bukan patok atau batas sempadan. Lembaga yang berwenang untuk menentukan garis sempadan dari tiga sungai besar yang membelah Kota Yogyakarta berada di tangan Balai Besar Wilayah Serayu Opak (BBWSO),” katanya.
Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28 Tahun 2015 dinyatakan bahwa jarak sempadan sungai untuk sungai di perkotaan adalah tiga meter jika sungai sudah memiliki tanggul atau 10 meter jika sungai belum dilengkapi tanggul.
Oleh karena itu, jika ada masyarakat yang ingin membangun bangunan atau memanfaatkan wilayah di bantaran sungai, maka wajib mengajukan permohonan kajian ke BBWSO guna memastikan bahwa mereka tidak melanggar sempadan sungai atau aturan lainnya.
Khusus di Sungai Winongo, lanjut Hari, masih ada masyarakat yang disinyalir melanggar garis sempadan. “Sebagian besar adalah bangunan nonpermanen meskipun ada juga bangunan permanen,” katanya.
Ia mengatakan, warga yang memiliki bangunan tersebut akan diberi penjelasan mengenai sempadan sungai dan pada tahap selanjutnya adalah meminta masyarakat untuk tidak melanggar sempadan.
Berdasarkan pendekatan yang dilakukan, lanjut Hari, sudah ada beberapa warga yang kemudian berinisiatif memundurkan rumahnya agar tidak berada terlalu dekat dengan sungai. “Artinya, masyarakat secara perlahan-lahan sudah memiliki kesadaran untuk memberikan ruang yang lebih kepada sungai,” katanya.
Ia berharap, pembinaan dan pembelajaran terkait garis sempadan sungai tersebut menjadi bagian dari upaya penataan sungai.
“Sungai juga harus tertata rapi karena menjadi bagian wajah kota. Penataan sungai juga dilakukan demi menjaga keselamatan warga yang tinggal di bantaran,” katanya.