Yogyakarta (ANTARA) - Tukiyat (51) tak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat mendapat telepon dari anak semata wayangnya, Sawitri, yang menyatakan tidak lama lagi akan pulang dari Jepang.
Bukan perkara pandemi corona yang menyebabkan Sawitri memutuskan pulang ke rumahnya yang berada di tengah Hutan Wanagama, Gunungkidul, Yogyakarta.
Sawitri berencana pulang ke tanah air karena pendidikan doktor yang ditempuhnya di Jepang selama tiga tahun ini telah rampung.
Tukiyat merupakan penjaga hutan wanagama yang dikelola oleh Universitas Gadjah Mada (UGM). Tukiyat bercerita ia sudah bekerja sebagai penjaga hutan Wanagama sejak tahun 1991.
Sebagai penjaga hutan, ia bersama istri dan anaknya tinggal di hutan Wanagama. Tidak ada tetangga atau warga yang tinggal di sekitar rumah mereka. Yang ada hanya pepohonan dan semak belukar. Namun, tidak jadi penghalang bagi Sawitri, justru dengan lingkungan hutan menjadi media pembelajaran bagi Sawitri untuk mengenal hutan lebih dekat.
"Paling main di sekitar hutan atau membaca buku di rumah," kata Tukiyat saat dihubungi Humas UGM via ponsel, Kamis (18/6).
Tukiyat bercerita, meski hidup di hutan, namun Sawitri sering ia tinggalkan sendiri di rumah sejak kecil. Hal itu terpaksa dilakukan bila kebetulan ia ditugaskan menyemai benih di area hutan yang lokasinya agak jauh, sedangkan istrinya tengah bertugas menjadi koki saat ada tamu yang menginap di wisma Wanagama. "Untung anaknya penurut, jadi kita enggak khawatir dia kemana-mana," kata dia.
Kebiasaan Sawitri yang paling diingat Sukiyat adalah hobinya yang suka baca buku. Selain buku dari sekolah, koleksi buku-buku tentang kehutanan yang ada di perpustakaan Wanagama pun sempat dibacanya.
"Sempat saya larang karena materinya bukan untuk anak SD seusianya," kata dia.
Namun, siapa sangka hobi baca buku ini mengantarkan Sawitri meraih jenjang akademik tertinggi yakni pendidikan program doktor. Bahkan, bidang ilmu yang digelutinya pun tidak jauh dari lingkungan yang biasa ia kenal sejak kecil, seputar hutan.
"Sejak kecil itu ia sudah hafal nama-nama latin dari jenis-jenis pohon karena ia juga sering mendengar saat ada dosen dan mahasiswa lagi praktik lapangan," katanya.
Ia bersyukur dan sekaligus bangga pada anak perempuannya bisa menyelesaikan kuliah dengan baik.
Bila ia ingat saat masih sekolah SD hingga SMP dulu, Sawitri harus berjalan kaki sejauh lebih dari 2 kilometer agar bisa sampai ke sekolah. "Ia jalan kaki sendiri, saya tidak pernah mengantar. Pas SMA di Kota Wonosari, ia jalan kaki menuju jalan besar, lalu naik bus ke kota," kata Tukiyat.
Seperti diketahui, Sawitri menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Wonosari tahun 2011. Lalu, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Kehutanan UGM dengan mengambil Prodi Silvikultur. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan S1, ia pun melanjutkan ke jenjang S2 di prodi yang sama. "Sejak 2017 lalu mengambil S3 di Jepang," kata Tukiyat.
Dihubungi secara terpisah, Sawitri yang tengah berada di Negeri Sakura mengatakan ia tengah mengambil kuliah program doktor di Prodi Biosphere Resource Science and Technologi dengan menekuni kajian genetika hutan di Universitas Tsubuka.
Sawitri menyampaikan, bila pendidikan S3 bisa rampung pada September mendatang maka ia menyelesaikan pendidikan doktor tepat tiga tahun.
"Saya masuk September 2017 dan akan selesai September tahun ini, tinggal menunggu ujian doktor akhir Juli depan," kata wanita kelahiran Gunungkidul, 26 Juni 1994 ini.
Sedikit bercerita, Sawitri mengaku bersyukur bisa kuliah hingga S3 hingga sekarang ini. Meski selama di Jepang ia menghadapi kendala dalam kuliahnya karena ia menekuni bidang teknologi molekuler yang masih awam baginya. Namun, bekerja keras untuk melewati tantangan tersebut dan akhirnya ia pun bisa menyelesaikan pendidikan dengan tepat waktu.
"Harapan saya, bidang ilmu yang saya tekuni ini bisa mengombinasikan pemuliaan tanaman terutama hutan di Indonesia untuk mendukung baik secara ekologi dan ekonomi terutama untuk hutan sebagai penghasil kayu," katanya.
Saat ditanya soal kisah masa kecilnya yang hidup di hutan, Sawitri menuturkan bahwa hutan menjadi bagian dari rumahnya. Sejak kecil sering diajak sang Ayah jika menyemai benih dan melakukan budi daya tanaman hutan.
"Saat itu saya sudah diajari menghafal jenis-jenis pohon dan nama ilmiahnya, saya suka belajar itu," kenangnya.
Dikarenakan tinggal di hutan, kata Sawitri, ia dan keluarganya terbiasa hidup sederhana. Tempat tinggal yang jauh dari kampung menjadikan ia tidak memiliki teman bermain setelah pulang sekolah. Ia pun memilih membaca buku di rumah.
"Kami tidak punya TV sampai sekarang, tidak ada hiburan untuk membunuh waktu. Pelariannya, ya, membaca buku, dulu di Wanagama ada perpustakaan, saya suka baca buku apa saja, meskipun bukunya terbitan lama," terangnya.
Bukan hanya tidak memiliki televisi di rumah, imbuhnya, untuk pergi ke sekolah setiap pagi saja harus berjalan kaki melewati hutan agar bisa sampai ke kampung terdekat. "Minder pasti ada, saya pulang saat panas terik dengan harus jalan kaki jauh, tidak diberi uang jajan, sedangkan anak yang lain naik angkot bahkan ada yang naik motor," kenangnya.
Meski terbiasa dalam hidup prihatin, namun kondisi itulah yang memotivasinya untuk melanjutkan studi hingga jenjang S3 dengan harapan bisa menyenangkan kedua orang tuanya suatu saat kelak. "Berkat kekuatan doa dan tekad mereka bisa mendukung saya hingga bisa kuliah S3 sekarang ini," katanya.
Bukan perkara pandemi corona yang menyebabkan Sawitri memutuskan pulang ke rumahnya yang berada di tengah Hutan Wanagama, Gunungkidul, Yogyakarta.
Sawitri berencana pulang ke tanah air karena pendidikan doktor yang ditempuhnya di Jepang selama tiga tahun ini telah rampung.
Tukiyat merupakan penjaga hutan wanagama yang dikelola oleh Universitas Gadjah Mada (UGM). Tukiyat bercerita ia sudah bekerja sebagai penjaga hutan Wanagama sejak tahun 1991.
Sebagai penjaga hutan, ia bersama istri dan anaknya tinggal di hutan Wanagama. Tidak ada tetangga atau warga yang tinggal di sekitar rumah mereka. Yang ada hanya pepohonan dan semak belukar. Namun, tidak jadi penghalang bagi Sawitri, justru dengan lingkungan hutan menjadi media pembelajaran bagi Sawitri untuk mengenal hutan lebih dekat.
"Paling main di sekitar hutan atau membaca buku di rumah," kata Tukiyat saat dihubungi Humas UGM via ponsel, Kamis (18/6).
Tukiyat bercerita, meski hidup di hutan, namun Sawitri sering ia tinggalkan sendiri di rumah sejak kecil. Hal itu terpaksa dilakukan bila kebetulan ia ditugaskan menyemai benih di area hutan yang lokasinya agak jauh, sedangkan istrinya tengah bertugas menjadi koki saat ada tamu yang menginap di wisma Wanagama. "Untung anaknya penurut, jadi kita enggak khawatir dia kemana-mana," kata dia.
Kebiasaan Sawitri yang paling diingat Sukiyat adalah hobinya yang suka baca buku. Selain buku dari sekolah, koleksi buku-buku tentang kehutanan yang ada di perpustakaan Wanagama pun sempat dibacanya.
"Sempat saya larang karena materinya bukan untuk anak SD seusianya," kata dia.
Namun, siapa sangka hobi baca buku ini mengantarkan Sawitri meraih jenjang akademik tertinggi yakni pendidikan program doktor. Bahkan, bidang ilmu yang digelutinya pun tidak jauh dari lingkungan yang biasa ia kenal sejak kecil, seputar hutan.
"Sejak kecil itu ia sudah hafal nama-nama latin dari jenis-jenis pohon karena ia juga sering mendengar saat ada dosen dan mahasiswa lagi praktik lapangan," katanya.
Ia bersyukur dan sekaligus bangga pada anak perempuannya bisa menyelesaikan kuliah dengan baik.
Bila ia ingat saat masih sekolah SD hingga SMP dulu, Sawitri harus berjalan kaki sejauh lebih dari 2 kilometer agar bisa sampai ke sekolah. "Ia jalan kaki sendiri, saya tidak pernah mengantar. Pas SMA di Kota Wonosari, ia jalan kaki menuju jalan besar, lalu naik bus ke kota," kata Tukiyat.
Seperti diketahui, Sawitri menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Wonosari tahun 2011. Lalu, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Kehutanan UGM dengan mengambil Prodi Silvikultur. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan S1, ia pun melanjutkan ke jenjang S2 di prodi yang sama. "Sejak 2017 lalu mengambil S3 di Jepang," kata Tukiyat.
Dihubungi secara terpisah, Sawitri yang tengah berada di Negeri Sakura mengatakan ia tengah mengambil kuliah program doktor di Prodi Biosphere Resource Science and Technologi dengan menekuni kajian genetika hutan di Universitas Tsubuka.
Sawitri menyampaikan, bila pendidikan S3 bisa rampung pada September mendatang maka ia menyelesaikan pendidikan doktor tepat tiga tahun.
"Saya masuk September 2017 dan akan selesai September tahun ini, tinggal menunggu ujian doktor akhir Juli depan," kata wanita kelahiran Gunungkidul, 26 Juni 1994 ini.
Sedikit bercerita, Sawitri mengaku bersyukur bisa kuliah hingga S3 hingga sekarang ini. Meski selama di Jepang ia menghadapi kendala dalam kuliahnya karena ia menekuni bidang teknologi molekuler yang masih awam baginya. Namun, bekerja keras untuk melewati tantangan tersebut dan akhirnya ia pun bisa menyelesaikan pendidikan dengan tepat waktu.
"Harapan saya, bidang ilmu yang saya tekuni ini bisa mengombinasikan pemuliaan tanaman terutama hutan di Indonesia untuk mendukung baik secara ekologi dan ekonomi terutama untuk hutan sebagai penghasil kayu," katanya.
Saat ditanya soal kisah masa kecilnya yang hidup di hutan, Sawitri menuturkan bahwa hutan menjadi bagian dari rumahnya. Sejak kecil sering diajak sang Ayah jika menyemai benih dan melakukan budi daya tanaman hutan.
"Saat itu saya sudah diajari menghafal jenis-jenis pohon dan nama ilmiahnya, saya suka belajar itu," kenangnya.
Dikarenakan tinggal di hutan, kata Sawitri, ia dan keluarganya terbiasa hidup sederhana. Tempat tinggal yang jauh dari kampung menjadikan ia tidak memiliki teman bermain setelah pulang sekolah. Ia pun memilih membaca buku di rumah.
"Kami tidak punya TV sampai sekarang, tidak ada hiburan untuk membunuh waktu. Pelariannya, ya, membaca buku, dulu di Wanagama ada perpustakaan, saya suka baca buku apa saja, meskipun bukunya terbitan lama," terangnya.
Bukan hanya tidak memiliki televisi di rumah, imbuhnya, untuk pergi ke sekolah setiap pagi saja harus berjalan kaki melewati hutan agar bisa sampai ke kampung terdekat. "Minder pasti ada, saya pulang saat panas terik dengan harus jalan kaki jauh, tidak diberi uang jajan, sedangkan anak yang lain naik angkot bahkan ada yang naik motor," kenangnya.
Meski terbiasa dalam hidup prihatin, namun kondisi itulah yang memotivasinya untuk melanjutkan studi hingga jenjang S3 dengan harapan bisa menyenangkan kedua orang tuanya suatu saat kelak. "Berkat kekuatan doa dan tekad mereka bisa mendukung saya hingga bisa kuliah S3 sekarang ini," katanya.