Jakarta (ANTARA) - Klaim obat herbal atau imunomodulator yang dapat menyembuhkan COVID-19 tanpa melewati pengujian klinis secara tepat dapat menimbulkan penyebaran informasi yang salah atau misinformasi di masyarakat, menurut beberapa pakar kesehatan.
"Ini yang sering belum mendapatkan uji klinis lalu dia mengklaim bahwa bisa khusus untuk imunomodulator untuk COVID-19 dan pasien yang diberikan pasti sembuh," kata Ketua Konsursium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN Ali Ghufron Mukti dalam diskusi Satgas Penanganan COVID-19 diadakan di Graha BNPB Jakarta pada Selasa.
Terdapat beberapa pihak yang mengklaim memproduksi produk imunomodulator, obat untuk memperkuat imunitas, terutama dari bahan herbal yang dapat menyembuhkan COVID-19.
Meskipun upaya meningkatkan imunitas adalah salah satu kunci menghadapi COVID-19, terutama untuk orang tanpa gejala atau bergejala ringan, katanya, klaim itu harus didukung dengan pengujian.
Obat herbal memiliki tiga jenis, yaitu yang sifatnya jamu, obat herbal tersandar (OHT) yang harus paling tidak melewati uji in vitro, dan fitofarmaka yang harus melewati uji klinis.
Anggota Komite Nasional Penilai Obat BPOM Dr. Anwar Santoso yang juga hadir dalam diskusi, mengatakan melakukan uji klinis sendiri tidaklah sederhana. Penyembuhan suatu penyakit memiliki banyak faktor serta terdapat faktor perancu dan uji klinis dilakukan untuk meminimalkan peranan faktor tersebut.
Oleh karena itu, klaim tanpa dukungan pengujian tersebut bisa menimbulkan tersebarnya informasi yang kurang tepat di masyarakat.
"Dampaknya apa? Akan terjadi misinformasi pada masyarakat, ini yang berbahaya. Karena uji klinis harus memberikan bukan hanya 'scientific value' tapi juga 'social value'," tegas ahli jantung di RS Jantung Harapan Kita itu.
"Ini yang sering belum mendapatkan uji klinis lalu dia mengklaim bahwa bisa khusus untuk imunomodulator untuk COVID-19 dan pasien yang diberikan pasti sembuh," kata Ketua Konsursium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN Ali Ghufron Mukti dalam diskusi Satgas Penanganan COVID-19 diadakan di Graha BNPB Jakarta pada Selasa.
Terdapat beberapa pihak yang mengklaim memproduksi produk imunomodulator, obat untuk memperkuat imunitas, terutama dari bahan herbal yang dapat menyembuhkan COVID-19.
Meskipun upaya meningkatkan imunitas adalah salah satu kunci menghadapi COVID-19, terutama untuk orang tanpa gejala atau bergejala ringan, katanya, klaim itu harus didukung dengan pengujian.
Obat herbal memiliki tiga jenis, yaitu yang sifatnya jamu, obat herbal tersandar (OHT) yang harus paling tidak melewati uji in vitro, dan fitofarmaka yang harus melewati uji klinis.
Anggota Komite Nasional Penilai Obat BPOM Dr. Anwar Santoso yang juga hadir dalam diskusi, mengatakan melakukan uji klinis sendiri tidaklah sederhana. Penyembuhan suatu penyakit memiliki banyak faktor serta terdapat faktor perancu dan uji klinis dilakukan untuk meminimalkan peranan faktor tersebut.
Oleh karena itu, klaim tanpa dukungan pengujian tersebut bisa menimbulkan tersebarnya informasi yang kurang tepat di masyarakat.
"Dampaknya apa? Akan terjadi misinformasi pada masyarakat, ini yang berbahaya. Karena uji klinis harus memberikan bukan hanya 'scientific value' tapi juga 'social value'," tegas ahli jantung di RS Jantung Harapan Kita itu.