Yogyakarta (ANTARA) - Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Daerah Istimewa Yogyakarta meminta penataan Malioboro juga mencakup penataan ulang kantong parkir bus pariwisata di kawasan itu.
"Penataan pedagang kaki lima (PKL) hanya salah satu bagian mempercantik Malioboro. Jangan berhenti di situ, tapi juga dipikirkan aturan-aturan yang mendukung pariwisata seperti soal kantong parkir, dan jam buka tutup," kata Ketua Asita DIY Hery Setyawan saat dihubungi di Yogyakarta, Senin.
Hery menuturkan tanpa penataan kantong parkir yang lebih baik, bus pariwisata yang membawa pengunjung Malioboro memungkinkan terjebak parkir ilegal dengan tarif "nutuk" atau melebihi kewajaran.
Pengaturan kantong parkir untuk bus pariwisata, menurut dia, sebaiknya melibatkan pakar transportasi dari kampus-kampus di DIY.
"Sebaiknya memperhatikan juga kenyamanan wisatawan, sekalipun bus tidak boleh mendekat tapi monggo dipikirkan bagaimana penataannya," kata dia.
Terlepas persoalan parkir, Hery menilai revitalisasi Malioboro dengan memindah PKL ke tempat khusus secara terpadu di Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro tidak akan mengurangi daya tarik wisata.
Sebaliknya, ia menilai penataan itu bakal menyetarakan Malioboro dengan destinasi wisata di sejumlah negara maju sehingga semakin meningkatkan minat wisatawan berkunjung.
Meski PKL dikumpulkan di dua tempat khusus yang masih di lingkup kawasan Malioboro, menurut dia, wisatawan tetap akan mencarinya.
"Kita mengacu di negara-negara lain di Sungapura, di China, Malaysia, mereka punya kantong-kantong tempat pedagang kecilnya sehingga dengan dikumpulkan justru menjadi magnet tersendiri," kata dia.
Malioboro, menurut dia, akan tetap menjadi destinasi utama para wisatawan tidak ubahnya Orchard Road di Singapura.
"Kalau wisatawan ke Yogyakarta sudah dipastikan harus ke Malioboro, kalau di Singapura seperti di Orchard Road," ujar dia.
Oleh sebab itu, Hery berharap penataan kawasan Malioboro dapat terkonsep dalam satu kesatuan tindakan secara sistematis sehingga aspek keindahan, kenyamanan wisatawan, serta PKL mendapat porsi yang sama.
"Kami harapkan kemegahan Malioboro, keindahan Malioboro tetap memancar tidak terlepas dari PKL yang ditempakan di Teras Malioboro 1 dan 2," tutur Hery.
Sebelumnya, Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti meminta kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta mulai dikenal masyarakat serta wisatawan dengan menyebutnya sebagai "Kawasan Cagar Budaya Malioboro".
PKL, kata dia, tetap ada di Malioboro, namun digeser di lokasi baru yakni di Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2.
"Jadi jangan lagi nanti di sini (disebut) pascarelokasi PKL dan sebagainya, tidak ada karena teman-teman (hanya) bergeser. Bukan di Malioboro tidak ada PKL, tapi PKL-nya bergeser ke Teras (Malioboro) satu dan teras dua," kata dia.
Haryadi berujar selama tiga bulan penataan, warna fasad bangunan termasuk pertokoan yang ada di Malioboro baka diselaraskan dengan cat warna putih mengacu kondisi awal kawasan itu.
"Jadi nanti warnanya akan kita seragamkan supaya warnanya lebih indah lagi," kata Haryadi.
"Penataan pedagang kaki lima (PKL) hanya salah satu bagian mempercantik Malioboro. Jangan berhenti di situ, tapi juga dipikirkan aturan-aturan yang mendukung pariwisata seperti soal kantong parkir, dan jam buka tutup," kata Ketua Asita DIY Hery Setyawan saat dihubungi di Yogyakarta, Senin.
Hery menuturkan tanpa penataan kantong parkir yang lebih baik, bus pariwisata yang membawa pengunjung Malioboro memungkinkan terjebak parkir ilegal dengan tarif "nutuk" atau melebihi kewajaran.
Pengaturan kantong parkir untuk bus pariwisata, menurut dia, sebaiknya melibatkan pakar transportasi dari kampus-kampus di DIY.
"Sebaiknya memperhatikan juga kenyamanan wisatawan, sekalipun bus tidak boleh mendekat tapi monggo dipikirkan bagaimana penataannya," kata dia.
Terlepas persoalan parkir, Hery menilai revitalisasi Malioboro dengan memindah PKL ke tempat khusus secara terpadu di Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro tidak akan mengurangi daya tarik wisata.
Sebaliknya, ia menilai penataan itu bakal menyetarakan Malioboro dengan destinasi wisata di sejumlah negara maju sehingga semakin meningkatkan minat wisatawan berkunjung.
Meski PKL dikumpulkan di dua tempat khusus yang masih di lingkup kawasan Malioboro, menurut dia, wisatawan tetap akan mencarinya.
"Kita mengacu di negara-negara lain di Sungapura, di China, Malaysia, mereka punya kantong-kantong tempat pedagang kecilnya sehingga dengan dikumpulkan justru menjadi magnet tersendiri," kata dia.
Malioboro, menurut dia, akan tetap menjadi destinasi utama para wisatawan tidak ubahnya Orchard Road di Singapura.
"Kalau wisatawan ke Yogyakarta sudah dipastikan harus ke Malioboro, kalau di Singapura seperti di Orchard Road," ujar dia.
Oleh sebab itu, Hery berharap penataan kawasan Malioboro dapat terkonsep dalam satu kesatuan tindakan secara sistematis sehingga aspek keindahan, kenyamanan wisatawan, serta PKL mendapat porsi yang sama.
"Kami harapkan kemegahan Malioboro, keindahan Malioboro tetap memancar tidak terlepas dari PKL yang ditempakan di Teras Malioboro 1 dan 2," tutur Hery.
Sebelumnya, Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti meminta kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta mulai dikenal masyarakat serta wisatawan dengan menyebutnya sebagai "Kawasan Cagar Budaya Malioboro".
PKL, kata dia, tetap ada di Malioboro, namun digeser di lokasi baru yakni di Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2.
"Jadi jangan lagi nanti di sini (disebut) pascarelokasi PKL dan sebagainya, tidak ada karena teman-teman (hanya) bergeser. Bukan di Malioboro tidak ada PKL, tapi PKL-nya bergeser ke Teras (Malioboro) satu dan teras dua," kata dia.
Haryadi berujar selama tiga bulan penataan, warna fasad bangunan termasuk pertokoan yang ada di Malioboro baka diselaraskan dengan cat warna putih mengacu kondisi awal kawasan itu.
"Jadi nanti warnanya akan kita seragamkan supaya warnanya lebih indah lagi," kata Haryadi.