Kolombo (ANTARA) - Hingga April, dinasti Rajapaksa masih mendominasi politik Sri Lanka sebelum protes jalanan terhadap kelangkaan bahan bakar dan makanan mulai lepas kendali.
Presiden Gotabaya Rajapaksa memutuskan meninggalkan negara itu pada Rabu pagi, tanpa meninggalkan seorang pun dari anggota keluarga termasyhur itu dalam posisi berkuasa.
Rajapaksa bersumpah bulan lalu untuk tetap bertahan sampai akhir masa jabatan lima tahunnya pada 2024, meskipun selama masa jabatannya memicu kemarahan rakyat.
Ribuan warga Sri Lanka menyerbu kediaman resminya pada Sabtu, memaksanya lari tunggang langgang untuk bersembunyi dan setuju untuk mundur. Dia menyatakan akan mundur Rabu ini (13/7).
"Suatu hari ini pasti terjadi," kata Mallawaara Arachchi, pensiunan insinyur berusia 73 tahun, saat dia ikut berkeliaran di sekitar kediaman resmi perdana menteri yang pernah ditempati oleh kakak laki-laki Rajapaksa, Mahinda. Tapi kediaman megah itu sekarang juga telah diduduki oleh para pengunjuk rasa.
"Mereka telah merampok segalanya dari rakyat," katanya. Tetapi dengan perginya keluarga (Rajapaksa) itu, "kita akan menjadi negara terbaik di dunia dalam waktu dekat".
Mahinda mengundurkan diri pada Mei, sehingga ikut pula mengakhiri tugas putranya Yoshith sebagai kepala staf. Putranya yang lain, Namal, kakak laki-laki Chamal dan adik laki-laki Basil dan Shasheendra, sudah lebih dulu mengundurkan diri sebagai menteri pada April.
Negara berpenduduk 22 juta ini hampir tidak memiliki sisa dolar untuk mengimpor bahan bakar, gagal membayar miliaran dolar pinjaman luar negeri, inflasi mencapai 54,6 persen bulan lalu dengan prediksi yang lebih mengerikan, sementara sekolah dan kantor terpaksa tutup untuk menghemat bensin dan solar.
Ini adalah krisis politik dan ekonomi yang paling buruk yang melanda negara itu sejak kemerdekaan pada tahun 1948, termasuk selama perang saudara yang brutal di mana Gotabaya Rajapaksa, waktu itu sebagai menteri pertahanan, mengomandoi penumpasan pemberontak Macan Tamil pada 2009.
Sebagian besar kesalahan atas krisis tersebut ditimpakan pada pandemi COVID-19 yang menekan industri pariwisata dan mengeringkan arus pengiriman uang dari warga Sri Lanka yang bekerja di luar negeri.
Kebijakan pemotongan pajak yang diterapkan Rajapaksa justru meninggalkan lubang dalam bagi pendapatan negara dan larangan pupuk kimia merusak tanaman. Kebijakan itu akhirnya dicabut.
Presiden Gotabaya Rajapaksa memutuskan meninggalkan negara itu pada Rabu pagi, tanpa meninggalkan seorang pun dari anggota keluarga termasyhur itu dalam posisi berkuasa.
Rajapaksa bersumpah bulan lalu untuk tetap bertahan sampai akhir masa jabatan lima tahunnya pada 2024, meskipun selama masa jabatannya memicu kemarahan rakyat.
Ribuan warga Sri Lanka menyerbu kediaman resminya pada Sabtu, memaksanya lari tunggang langgang untuk bersembunyi dan setuju untuk mundur. Dia menyatakan akan mundur Rabu ini (13/7).
"Suatu hari ini pasti terjadi," kata Mallawaara Arachchi, pensiunan insinyur berusia 73 tahun, saat dia ikut berkeliaran di sekitar kediaman resmi perdana menteri yang pernah ditempati oleh kakak laki-laki Rajapaksa, Mahinda. Tapi kediaman megah itu sekarang juga telah diduduki oleh para pengunjuk rasa.
"Mereka telah merampok segalanya dari rakyat," katanya. Tetapi dengan perginya keluarga (Rajapaksa) itu, "kita akan menjadi negara terbaik di dunia dalam waktu dekat".
Mahinda mengundurkan diri pada Mei, sehingga ikut pula mengakhiri tugas putranya Yoshith sebagai kepala staf. Putranya yang lain, Namal, kakak laki-laki Chamal dan adik laki-laki Basil dan Shasheendra, sudah lebih dulu mengundurkan diri sebagai menteri pada April.
Negara berpenduduk 22 juta ini hampir tidak memiliki sisa dolar untuk mengimpor bahan bakar, gagal membayar miliaran dolar pinjaman luar negeri, inflasi mencapai 54,6 persen bulan lalu dengan prediksi yang lebih mengerikan, sementara sekolah dan kantor terpaksa tutup untuk menghemat bensin dan solar.
Ini adalah krisis politik dan ekonomi yang paling buruk yang melanda negara itu sejak kemerdekaan pada tahun 1948, termasuk selama perang saudara yang brutal di mana Gotabaya Rajapaksa, waktu itu sebagai menteri pertahanan, mengomandoi penumpasan pemberontak Macan Tamil pada 2009.
Sebagian besar kesalahan atas krisis tersebut ditimpakan pada pandemi COVID-19 yang menekan industri pariwisata dan mengeringkan arus pengiriman uang dari warga Sri Lanka yang bekerja di luar negeri.
Kebijakan pemotongan pajak yang diterapkan Rajapaksa justru meninggalkan lubang dalam bagi pendapatan negara dan larangan pupuk kimia merusak tanaman. Kebijakan itu akhirnya dicabut.