Jakarta (ANTARA) - Pemulangan (repartriasi) perempuan dan anak warga negara Indonesia yang terasosiasi dengan kelompok teroris di luar negeri atau Foreign Terrorist Fighter (FTF) masih menimbulkan pro dan kontra terkait dengan aspek hukum, proses deradikalisasi, serta kemauan politik.

"Hingga saat ini, masih terus muncul pro dan kontra terkait pemulangan atau repatriasi perempuan dan anak terasosiasi FTF (foreign terrorist fighter)," kata psikolog forensik, Zora A Sukardi dalam diskusi tentang "Repatriasi dalam Penanganan Perempuan dan Anak Terasosiasi Foreign Terrorist Fighter (FTF)" yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) di Jakarta, Selasa.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), saat ini ada sekitar 300 WNI perempuan dan anak yang berada di kamp-kamp di Suriah timur. Mereka terdiri dari 181 perempuan dan 145 anak.

"Pertanyaannya adalah apakah kita mau pulangkan atau biarkan saja di sana? Kalau kontranya mereka dianggap virus. Seorang yang sudah pernah terekspos dunia perang, kalau pulang apa efeknya? Kita di dalam negeri saja pendidikan Pancasilanya belum optimal. Di sisi pro, kita tidak bisa membuat orang itu terlantar atau stateless (tanpa kewarganegaraan)," kata Zora.

Menurut Zora, hal-hal yang diperdebatkan adalah terkait status hukum perempuan dan anak apakah sebagai pelaku atau korban. Dari perdebatan sejauh ini, semua sepakat bahwa anak diidentifikasi sebagai korban.

Namun, ujar dia, tidak semua pihak mendukung perempuan ditempatkan sebagai korban karena mereka dinilai memiliki daya untuk mengatakan tidak.

Selama ini, lanjut Zora, kelompok masyarakat sipil yang bergerak di dunia terorisme selalu optimistis bahwa mereka memiliki kapasitas untuk bisa menerima, menampung, dan memberdayakan perempuan dan anak yang terasosiasi FTF.

Bila memutuskan untuk memulangkan mereka, maka harus disiapkan mekanisme penilaian risiko, melakukan rehabilitasi, dan deradikalisasi serta membuat tempat penampungan bagi mereka, katanya.


Kepala Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI Muhammad Syauqillah mengatakan bahwa kerentanan yang dihadapi Indonesia FTF adalah masih adanya aliran dana dari Indonesia ke mereka yang berada di Suriah.

Selain itu, Syauqillah juga mengemukakan bahwa hingga saat ini masih terdapat jalur tradisional di perbatasan Turki dengan Suriah yang memungkinkan FTF keluar dan masuk. Hal itu turut membuka kemungkinan peluang bagi mereka untuk kembali ke Indonesia karena memiliki uang.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Repatriasi perempuan & anak terasosiasi teroris masih tuai pro-kontra

Pewarta : Hendri Sukma Indrawan
Editor : Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2025