Mataram (ANTARA) - Udara dingin mendekap. Jarum jam telah menunjukkan pukul 20.00 WITA. Satu per satu, remaja berusia belasan tahun berdatangan. Mereka berbekal sarung dan selimut tebal. Langkah mereka di bawah bayang-bayang sinar bulan, menyerupai siluet.
Gemulai api unggun diterpa goyangan angin Gunung Rinjani di kawasan Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, turut menyertai aktivitas mereka. Para pemuda itu melangkahkan kaki menuju halaman Sanggar Aldakmas.
Di halaman beralaskan tanah itu, suara tetabuhan alat musik gendang, gong, terompong, jemprang sampai dan suling, mulai dimainkan. Latihan Tarian Tandang Mendet pun akan segera dimulai. Latihan untuk menjaga kesenian tradisional masyarakat di Desa Sembalun Bumbung, di kaki Gunung Rinjani (3.726 mdpl).
"Ayo kita mulai latihan," teriak Lizan Haris, Ketua Divisi Tari Sanggar Aldakmas.
Para remaja itu kontan bangkit setelah beberapa saat mengerubungi api unggun serta berceloteh soal kegiatan satu hari itu. Bahkan terdengar "sesagul" atau canda-candaan mereka. Tapi sarung dan selimut tidak bisa dilepaskan. Maklum saat itu dingin mencapai 10 derajat celcius.
Sebanyak 11 remaja yang bertugas sebagai penari sigap berdiri sembari menyiapkan perlengkapan menari. Gerakan pun dimulai bersamaan bunyi gamelan. Dengan menghunuskan tombak, pedang dan tameng mereka menyeringai. "Yeeeeq...Yarrrrrr," teriak para penari serempak saat menghentakkan kakinya ke tanah.
Tempo musik pun semakin mengencang serta gerakkan tari pun semakin lincah. Mereka berputar seperti membentuk lingkaran sambil maju mundur menghunuskan tombak, pedang serta tameng yang seolah-olah menangkis dari serangan lawan.
Gerakan tarian yang dibawakan seperti para prajurit yang bertempur menghadapi musuh. Tiba-tiba lima penari berjongkok dengan menghunuskan senjata tajam, lima penari lainnya berdiri tepat di belakangnya, persis seperti menjadi pelindung.
Satu penari lagi menjadi komandan. Dia berputar-putar dan memberi komando kepada pasukannya. "Yeeeeq....Yarrrrrrr," teriakan itu berulang-ulang.
Aksi para penari itu berlangsung sekitar 20 menit.
Rasa dingin yang menembus tulang sumsum pun terabaikan. Keringat yang tertahan dan deru nafas menderu-deru dari para penari, terdengar. Akhirnya, mereka bisa beristirahat sejenak di depan api unggun sambil meminum kopi.
Itu menjadi kegiatan rutin setiap hari dari para remaja di kaki Gunung Rinjani, gunung tertinggi di Indonesia yang dahulunya dikenal dengan Samalas. Rutinitas itu tidak lain untuk menjaga dan melestarikan kesenian lokal.
"Kegiatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa keterampilan berharga ini terus berlanjut ke generasi mendatang", kata Deni, Ketua Pokdarwis Sembalun Bumbung.
Mereka sudah memiliki jadwal resmi untuk berlatih, yakni, enam kali dalam seminggu kecuali hari Jumat. Latihan akan berakhir sekitar pukul 22.00 WITA. Para pemuda itu dilatih untuk memainkan gamelan, drama, dan tarian tandang mendet.
Mereka biasa berlatih setelah isya, sedangkan materi latihannya meliputi drama, gamelan, dan yang terpenting Tarian Tandang Mendet itu sendiri.
Pemuda harus diajarkan untuk mengenal budaya lokal, agar mereka tidak kehilangan identitasnya. Di tengah zaman yang mulai terpengaruhi oleh budaya barat, maka diharapkan generasi muda dapat mempertahankan budaya lokal agar mereka tidak kehilangan identitasnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Cara masyarakat lereng Gunung Rinjani melestarikan budayanya
Gemulai api unggun diterpa goyangan angin Gunung Rinjani di kawasan Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, turut menyertai aktivitas mereka. Para pemuda itu melangkahkan kaki menuju halaman Sanggar Aldakmas.
Di halaman beralaskan tanah itu, suara tetabuhan alat musik gendang, gong, terompong, jemprang sampai dan suling, mulai dimainkan. Latihan Tarian Tandang Mendet pun akan segera dimulai. Latihan untuk menjaga kesenian tradisional masyarakat di Desa Sembalun Bumbung, di kaki Gunung Rinjani (3.726 mdpl).
"Ayo kita mulai latihan," teriak Lizan Haris, Ketua Divisi Tari Sanggar Aldakmas.
Para remaja itu kontan bangkit setelah beberapa saat mengerubungi api unggun serta berceloteh soal kegiatan satu hari itu. Bahkan terdengar "sesagul" atau canda-candaan mereka. Tapi sarung dan selimut tidak bisa dilepaskan. Maklum saat itu dingin mencapai 10 derajat celcius.
Sebanyak 11 remaja yang bertugas sebagai penari sigap berdiri sembari menyiapkan perlengkapan menari. Gerakan pun dimulai bersamaan bunyi gamelan. Dengan menghunuskan tombak, pedang dan tameng mereka menyeringai. "Yeeeeq...Yarrrrrr," teriak para penari serempak saat menghentakkan kakinya ke tanah.
Tempo musik pun semakin mengencang serta gerakkan tari pun semakin lincah. Mereka berputar seperti membentuk lingkaran sambil maju mundur menghunuskan tombak, pedang serta tameng yang seolah-olah menangkis dari serangan lawan.
Gerakan tarian yang dibawakan seperti para prajurit yang bertempur menghadapi musuh. Tiba-tiba lima penari berjongkok dengan menghunuskan senjata tajam, lima penari lainnya berdiri tepat di belakangnya, persis seperti menjadi pelindung.
Satu penari lagi menjadi komandan. Dia berputar-putar dan memberi komando kepada pasukannya. "Yeeeeq....Yarrrrrrr," teriakan itu berulang-ulang.
Aksi para penari itu berlangsung sekitar 20 menit.
Rasa dingin yang menembus tulang sumsum pun terabaikan. Keringat yang tertahan dan deru nafas menderu-deru dari para penari, terdengar. Akhirnya, mereka bisa beristirahat sejenak di depan api unggun sambil meminum kopi.
Itu menjadi kegiatan rutin setiap hari dari para remaja di kaki Gunung Rinjani, gunung tertinggi di Indonesia yang dahulunya dikenal dengan Samalas. Rutinitas itu tidak lain untuk menjaga dan melestarikan kesenian lokal.
"Kegiatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa keterampilan berharga ini terus berlanjut ke generasi mendatang", kata Deni, Ketua Pokdarwis Sembalun Bumbung.
Mereka sudah memiliki jadwal resmi untuk berlatih, yakni, enam kali dalam seminggu kecuali hari Jumat. Latihan akan berakhir sekitar pukul 22.00 WITA. Para pemuda itu dilatih untuk memainkan gamelan, drama, dan tarian tandang mendet.
Mereka biasa berlatih setelah isya, sedangkan materi latihannya meliputi drama, gamelan, dan yang terpenting Tarian Tandang Mendet itu sendiri.
Pemuda harus diajarkan untuk mengenal budaya lokal, agar mereka tidak kehilangan identitasnya. Di tengah zaman yang mulai terpengaruhi oleh budaya barat, maka diharapkan generasi muda dapat mempertahankan budaya lokal agar mereka tidak kehilangan identitasnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Cara masyarakat lereng Gunung Rinjani melestarikan budayanya