Semarang (ANTARA) - Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengemukakan bahwa pembentuk undang-undang harus merumuskan parliamentary threshold (ambang batas parlemen) secara terbuka, transparan, akuntabel, dan partisipatoris.

Pemerintah dan DPR RI selaku pembentuk undang-undang, menurut Titi Anggraini yang juga anggota Dewan Pembina Perludem ini, harus memperhatikan pemenuhan kedaulatan rakyat, proporsionalitas hasil pemilu, serta penyederhanaan partai.

"Selain itu, juga dengan menggunakan metode yang terukur dan jelas sehingga rasionalitas kebijakan tetap terjaga," kata dosen Hukum Pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini kepada ANTARA di Semarang, Jumat pagi, ketika merespons Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perludem terkait dengan ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan dalam Sidang Pleno MK yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis (29/2), menyatakan, "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian."

Dalam putusan itu, lanjut Titi Anggraini, Mahkamah berpendapat bahwa berkenaan dengan ambang batas parlemen sebagaimana ditentukan norma Pasal 414 ayat (1) UU No. 7/2017 perlu segera dilakukan perubahan dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh beberapa hal.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Titi: Pembentuk UU harus rumuskan ambang batas secara partisipatoris

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2024