Yogyakarta (ANTARA) - Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said mengatakan diperlukan upaya kolektif para cerdik pandai untuk merumuskan konsep kepemimpinan publik ke depan, dan menyebarkannya dalam bentuk pendidikan publik.
Ia mengajak semua pihak untuk mengkaji kembali konsep kepemimpinan nasional pasca-Pemilu 2024. Menurut dia, syarat untuk menjadi pemimpin nasional atau presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Pasal 169 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, terlalu longgar dan tidak mencakup aspek kualitatif.
"Kriteria yang terlalu normatif dan administratif, tidak diperkuat dengan aspek kualitatif menyebabkan saringan begitu longgar. Nyaris setiap orang yang tamat SLTA dapat memasuki arena kontestasi pemilihan pimpinan tertinggi negara," kata Sudirman dalam acara Panel Forum Nasional: Pemikiran Kepemimpinan Indonesia yang digelar Forum 2045 di Yogyakarta, Sabtu.
Selain Sudirman Said, pembicara lainnya yaitu Guru Besar Geografi Regional Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof M Baiquni, Guru Besar Fakultas Filsafat UGM Prof Armaidy Armawi, Guru Besar Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof Heru Kurnianto, dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Ni'matul Huda.
Sudirman melanjutkan, dengan syarat kepemimpinan yang terlalu longgar itu membuat siapa pun seolah diperbolehkan masuk ke arena kontestasi tanpa saringan yang ketat. Menurut dia, hal itu sangat ironis ketika untuk menjadi pemimpin perusahaan yang sifatnya mikro saja butuh berbagai persyaratan ketat.
"Syarat di perusahaan saja, jadi CEO punya syarat ketat dan rumit. Itu sektor mikro satu institusi, sementara memimpin negara syarat masuknya sangat longgar," kata mantan Menteri ESDM ini.
Ia mengajak semua pihak untuk mengkaji kembali konsep kepemimpinan nasional pasca-Pemilu 2024. Menurut dia, syarat untuk menjadi pemimpin nasional atau presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Pasal 169 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, terlalu longgar dan tidak mencakup aspek kualitatif.
"Kriteria yang terlalu normatif dan administratif, tidak diperkuat dengan aspek kualitatif menyebabkan saringan begitu longgar. Nyaris setiap orang yang tamat SLTA dapat memasuki arena kontestasi pemilihan pimpinan tertinggi negara," kata Sudirman dalam acara Panel Forum Nasional: Pemikiran Kepemimpinan Indonesia yang digelar Forum 2045 di Yogyakarta, Sabtu.
Selain Sudirman Said, pembicara lainnya yaitu Guru Besar Geografi Regional Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof M Baiquni, Guru Besar Fakultas Filsafat UGM Prof Armaidy Armawi, Guru Besar Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof Heru Kurnianto, dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Ni'matul Huda.
Sudirman melanjutkan, dengan syarat kepemimpinan yang terlalu longgar itu membuat siapa pun seolah diperbolehkan masuk ke arena kontestasi tanpa saringan yang ketat. Menurut dia, hal itu sangat ironis ketika untuk menjadi pemimpin perusahaan yang sifatnya mikro saja butuh berbagai persyaratan ketat.
"Syarat di perusahaan saja, jadi CEO punya syarat ketat dan rumit. Itu sektor mikro satu institusi, sementara memimpin negara syarat masuknya sangat longgar," kata mantan Menteri ESDM ini.