Yogyakarta (ANTARA) - Perpustakaan Nasional (Perpusnas) memiliki tiga program prioritas di antaranya penguatan budaya baca dan literasi, standarisasi dan pembinaan perpustakaan, pengarusutamaan naskah Nusantara.
Plt. Kepala Perpustakaan Nasional E. Aminudin Aziz dalam rangka melaksanakan pelestarian dan pengarusutamaan naskah-naskah kuno Nusantara terus berupaya mengakselerasi program tersebut melalui kerja sama dan kemitraan.
Perpustakaan Nasional melakukan audiensi ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam menjalankan program prioritas yang salah satunya pengarusutamaan naskah Nusantara.
Plt. Kepala Perpusnas E. Aminudin Aziz serta jajaran diterima oleh Gusti Kanjeng Ratu Hayu bertempat di Kawedanan Widya Budaya Keraton Yogyakarta pada Rabu (24/4)).
"Dalam catatan kami, Perpustakaan Nasional sejak tahun 2017 melakukan berbagai program digitalisasi. Pada tahun 2023 menjadi tahun ketika kami menerima banyak sekali naskah dari masyarakat, terdiri dari naskah Batak 37 judul, naskah Bugis 38 judul dan naskah Jawa, lontar Jawa_Bali, Bollinger Project, dan naskah lainnya," ujar Amin.
Amin menerangkan pada tahun 2009, Perpusnas melakukan digitalisasi 7 judul naskah Keraton Yogyakarta di antaranya Serat Sujarah Aji, Babad Ngayogyakarta HB V, Serat Kyahi Bratayudha, Serat Damarwulan, Buku Gambar Pradjurit Karaton Ngayogyakarta Adiningrat, Jawa Binangun, dan, Sejarah Makam Kerajaan.
Perpusnas memiliki dan menyimpan salinan digital naskah-naskah tersebut. Namun, Perpusnas tidak diperkenankan untuk menyediakan salinan digital naskah-naskah tersebut kepada masyarakat umum. "Kemudian sejak 2013 Keraton Yogyakarta mendigitalisasikan sendiri dan Perpustakaan Nasional tidak mengadakan digitalisasi untuk naskah tersebut, tetapi kami mendigitalisasi naskah-naskah lainnya," tutur Amin.
Amin berharap Perpusnas diberikan izin oleh pihak Keraton Yogyakarta untuk membuka akses kepada masyarakat terhadap naskah digital Keraton Yogyakarta yang dimiliki Perpusnas.
"Pihak Keraton Yogyakarta untuk kemudian memberikan akses kepada masyarakat melalui softcopy yang ada di Perpustakaan Nasional ini, apakah nanti diperkenankan untuk dibuka kembali aksesnya untuk dilakukan kajian oleh para peneliti dan dimanfaatkan sebagai sumber belajar bagi para pengunjung Perpustakaan Nasional," kata Amin.
Gusti Hayu menjelaskan naskah-naskah Keraton Yogyakarta harus dipilah terlebih dahulu untuk dapat diakses oleh masyarakat, karena naskah-naskah tersebut ada yang sifatnya sakral dan perlu pendampingan untuk menafsirkan kandungan yang terdapat dalam naskah tersebut.
"Kesimpulannya koleksi yang ada di perpustakaan Widya Budaya juga membatasi mana yang untuk umum, mana yang ketika membaca harus didampingi dan ada yang tidak bisa sama sekali," ujar Gusti Hayu.
Dalam hal pelestarian, pihak keraton juga merasa perlu koleksi naskah Keraton Yogyakarta memiliki salinan cadangan di berbagai tempat sebagai upaya penerapan disaster management.
"Nah mungkin dengan kesempatan ini kami dengan senang hati, misalnya bisa diadakan kerja sama, bisa di detailkan prosedurnya. Perpustakaan kami juga sudah mulai lebih tertata. Jadi setelah didigitalisasi bisa diatur mana hal-hal yang boleh keluar mana yang tidak boleh keluar dari Keraton," katanya.
Gusti Hayu juga berkeinginan mendapatkan salinan koleksi terkait naskah Keraton Yogyakarta yang dimiliki Perpusnas. Pihak keraton berharap diperkenankan mengakses koleksi tersebut di antaranya terkait peta pertanahan.
"Jadi dulu banyak koleksi naskah yang keluar tanpa sepengetahuan keraton, terutama untuk peta pertanahan, karena Keraton Yogyakarta juga dalam proses rekonstruksi. Jadi Nagrso Dalem (Sri Sultan) memerintahkan sebisa mungkin keraton dikembalikan tata letaknya sesuai asalnya," tutur Gusti Hayu.
Fajar Wijanarko dari Museum Sonobudoyo menjelaskan turut menjadi saksi pada sekitar tahun 2010 sampai 2011, di mana Universitas Leipzig bekerja sama dengan Keraton Yogyakarta untuk kegiatan digitalisasi manuskrip dengan Museum Sonobudoyo, Keraton Pakualaman, dan Balai Bahasa.
"Pada tahun 2010, Pakualaman merasa aset naskah dari institusi tersebut merupakan pusaka, sehingga saat itu Gusti Pakualaman IX memilih aset naskah tersebut untuk disimpan saja. Sehingga sampai hari ini mereka melakukan digitalisasi sendiri," ujar Fajar.
Fajar juga berharap dapat memperoleh salinan digital tentang Keraton Yogyakarta yang dimiliki oleh Perpustakaan Nasional, sehingga Keraton Yogyakarta juga dapat melayankan salinan digital koleksi tersebut agar dibaca oleh masyarakat dengan catatan sudah dipilah sesuai aturan keraton.
Pada kesempatan yang sama Kepala Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta Kanjeng Tirto menjelaskan Perpustakaan Widya Nudaya yang dikenal dengan perpustakaan keraton sebagai pusat penyimpanan arsip, manuskrip, naskah, dan buku.
Kanjeng Tirto mengajak Plt. Kepala Perpustakaan Nasional untuk melihat kondisi arsip, naskah atau manuskrip yang sebagian kondisi fisiknya cukup memprihatinkan.
"Maklum abdi dalem di Widya Budaya jauh dari istilah pustakawan, sehingga kurang tahu persis bagaimana menata buku dan penempatannya sehingga kami perlu pendampingan dalam mengelola manuskrip tersebut," ujar Kanjeng Tirto.
Plt. Kepala Perpustakaan Nasional E. Aminudin Aziz dalam rangka melaksanakan pelestarian dan pengarusutamaan naskah-naskah kuno Nusantara terus berupaya mengakselerasi program tersebut melalui kerja sama dan kemitraan.
Perpustakaan Nasional melakukan audiensi ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam menjalankan program prioritas yang salah satunya pengarusutamaan naskah Nusantara.
Plt. Kepala Perpusnas E. Aminudin Aziz serta jajaran diterima oleh Gusti Kanjeng Ratu Hayu bertempat di Kawedanan Widya Budaya Keraton Yogyakarta pada Rabu (24/4)).
"Dalam catatan kami, Perpustakaan Nasional sejak tahun 2017 melakukan berbagai program digitalisasi. Pada tahun 2023 menjadi tahun ketika kami menerima banyak sekali naskah dari masyarakat, terdiri dari naskah Batak 37 judul, naskah Bugis 38 judul dan naskah Jawa, lontar Jawa_Bali, Bollinger Project, dan naskah lainnya," ujar Amin.
Amin menerangkan pada tahun 2009, Perpusnas melakukan digitalisasi 7 judul naskah Keraton Yogyakarta di antaranya Serat Sujarah Aji, Babad Ngayogyakarta HB V, Serat Kyahi Bratayudha, Serat Damarwulan, Buku Gambar Pradjurit Karaton Ngayogyakarta Adiningrat, Jawa Binangun, dan, Sejarah Makam Kerajaan.
Perpusnas memiliki dan menyimpan salinan digital naskah-naskah tersebut. Namun, Perpusnas tidak diperkenankan untuk menyediakan salinan digital naskah-naskah tersebut kepada masyarakat umum. "Kemudian sejak 2013 Keraton Yogyakarta mendigitalisasikan sendiri dan Perpustakaan Nasional tidak mengadakan digitalisasi untuk naskah tersebut, tetapi kami mendigitalisasi naskah-naskah lainnya," tutur Amin.
Amin berharap Perpusnas diberikan izin oleh pihak Keraton Yogyakarta untuk membuka akses kepada masyarakat terhadap naskah digital Keraton Yogyakarta yang dimiliki Perpusnas.
"Pihak Keraton Yogyakarta untuk kemudian memberikan akses kepada masyarakat melalui softcopy yang ada di Perpustakaan Nasional ini, apakah nanti diperkenankan untuk dibuka kembali aksesnya untuk dilakukan kajian oleh para peneliti dan dimanfaatkan sebagai sumber belajar bagi para pengunjung Perpustakaan Nasional," kata Amin.
Gusti Hayu menjelaskan naskah-naskah Keraton Yogyakarta harus dipilah terlebih dahulu untuk dapat diakses oleh masyarakat, karena naskah-naskah tersebut ada yang sifatnya sakral dan perlu pendampingan untuk menafsirkan kandungan yang terdapat dalam naskah tersebut.
"Kesimpulannya koleksi yang ada di perpustakaan Widya Budaya juga membatasi mana yang untuk umum, mana yang ketika membaca harus didampingi dan ada yang tidak bisa sama sekali," ujar Gusti Hayu.
Dalam hal pelestarian, pihak keraton juga merasa perlu koleksi naskah Keraton Yogyakarta memiliki salinan cadangan di berbagai tempat sebagai upaya penerapan disaster management.
"Nah mungkin dengan kesempatan ini kami dengan senang hati, misalnya bisa diadakan kerja sama, bisa di detailkan prosedurnya. Perpustakaan kami juga sudah mulai lebih tertata. Jadi setelah didigitalisasi bisa diatur mana hal-hal yang boleh keluar mana yang tidak boleh keluar dari Keraton," katanya.
Gusti Hayu juga berkeinginan mendapatkan salinan koleksi terkait naskah Keraton Yogyakarta yang dimiliki Perpusnas. Pihak keraton berharap diperkenankan mengakses koleksi tersebut di antaranya terkait peta pertanahan.
"Jadi dulu banyak koleksi naskah yang keluar tanpa sepengetahuan keraton, terutama untuk peta pertanahan, karena Keraton Yogyakarta juga dalam proses rekonstruksi. Jadi Nagrso Dalem (Sri Sultan) memerintahkan sebisa mungkin keraton dikembalikan tata letaknya sesuai asalnya," tutur Gusti Hayu.
Fajar Wijanarko dari Museum Sonobudoyo menjelaskan turut menjadi saksi pada sekitar tahun 2010 sampai 2011, di mana Universitas Leipzig bekerja sama dengan Keraton Yogyakarta untuk kegiatan digitalisasi manuskrip dengan Museum Sonobudoyo, Keraton Pakualaman, dan Balai Bahasa.
"Pada tahun 2010, Pakualaman merasa aset naskah dari institusi tersebut merupakan pusaka, sehingga saat itu Gusti Pakualaman IX memilih aset naskah tersebut untuk disimpan saja. Sehingga sampai hari ini mereka melakukan digitalisasi sendiri," ujar Fajar.
Fajar juga berharap dapat memperoleh salinan digital tentang Keraton Yogyakarta yang dimiliki oleh Perpustakaan Nasional, sehingga Keraton Yogyakarta juga dapat melayankan salinan digital koleksi tersebut agar dibaca oleh masyarakat dengan catatan sudah dipilah sesuai aturan keraton.
Pada kesempatan yang sama Kepala Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta Kanjeng Tirto menjelaskan Perpustakaan Widya Nudaya yang dikenal dengan perpustakaan keraton sebagai pusat penyimpanan arsip, manuskrip, naskah, dan buku.
Kanjeng Tirto mengajak Plt. Kepala Perpustakaan Nasional untuk melihat kondisi arsip, naskah atau manuskrip yang sebagian kondisi fisiknya cukup memprihatinkan.
"Maklum abdi dalem di Widya Budaya jauh dari istilah pustakawan, sehingga kurang tahu persis bagaimana menata buku dan penempatannya sehingga kami perlu pendampingan dalam mengelola manuskrip tersebut," ujar Kanjeng Tirto.