Bantul (ANTARA) - Pemegang saham PT Cahaya Mulia Persada Nusa (CMPN) menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa perusahaan rokok sigaret tersebut di salah satu hotel wilayah Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kuasa Hukum PT CMPN Iwan Setiawan dalam konferensi pers di Kabupaten Bantul, Senin, mengatakan, setelah kegiatan RUPS berjalan 15 menit, suasana rapat tidak kondusif, sehingga dirinya memilih 'walk out' (meninggalkan) dari lokasi RUPS Luar Biasa.

Aksi walk aut kemudian diikuti Direktur Suluh Budiarto Rahardjo, kuasa hukum pemegang saham Dewi Ardianie (istri almarhum Priyo Sujalmo) yakni Widyoseno, Kuasa hukum pemegang saham Yuli Purwaningsing, Anung Marganto dan kuasa hukum Komisaris, Gibson Pandiangan.

"Jika RUPS Luar Biasa tetap dilaksanakan, maka hasilnya dianggap ilegal dan kami akan mengambil langkah hukum untuk menggugat" katanya.

Menurut dia, PT CMPN didirikan oleh Yuli Purwaningsih, Priyo Sujalmo dan Intan Titisari. Selain mereka bertiga, saham juga diserahkan kepada pihak luar 500 lembar dari total 2.500 lembar saham. Setelah Priyo Sujalmo meninggal, saham dialihkan ke RA Dewi Ardianie jumlahnya 1.625 lembar.

Tetapi, kata dia, seiring waktu ternyata ada pihak yang mengaku memiliki saham tersebut sehingga saham Dewi tinggal 325 lembar, dalam arti ada 1.300 lembar yang pindah kepemilikan, dan mereka masih kerabat dari almarhum Priyo Sujalmo yakni Gunawan (adik almarhum Priyo), Sunardi (kerabat) dan Ida Winarti.

"Maka kami mengajukan gugatan pembatalan kepemilikan saham dan dikabulkan Pengadilan Negeri (PN) Bantul karena memang tidak ada bukti yang kuat terkait penjualan saham perusahaan sebagaimana diatur dalam perundangan," katanya.

Dia melanjutkan, Ida Winarti dan yang lain kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DIY dan dimenangkan, dengan alasan PN Bantul tidak berwenang  menyidangkan sengketa kepemilikan saham PT CMPN.

"Atas dasar keputusan PT DIY inilah maka mereka mengajukan permohonan RUPS Luar Biasa di PN Bantul dan dikabulkan, serta digelar 28 Oktober ini. Putusan PN Bantul yang menjadi dasar RUPS Luar Biasa dengan nomor 200.pdt.P/2024/PN.BTL tertanggal 1 Oktober 2024," kata Iwan.

Dia menganggap hal tersebut aneh, karena pada putusan PT DIY dikatakan bahwa PN Bantul tidak berhak memutuskan kaitan kepemilikan saham. Namun memutuskan RUPS Luar Biasa dan dikabulkan, sehingga kepemilikan saham Ida Winarti dan yang lain diakui lagi.

"Maka kami melaporkan hakim pemutus RUPS Luar Biasa dari PN Bantul ke Mahkamah Agung," katanya.

Sementara itu, Kuasa Hukum pemegang saham lainnya, Widyoseno mengatakan jika kliennya tidak pernah menjual saham ataupun juga ke notaris terkait pemindahan kepemilikan saham.

"Maka kenapa tiba-tiba sahamnya tinggal 325 lembar? Yang lain kemana. Maka inilah yang kemudian juga menjadi dasar gugatan kami di PN Bantul waktu itu dan dimenangkan," katanya.

Dia mengatakan, tetapi ketika digelar RUPS Luar Biasa ini, maka mereka menganggap ilegal. Sebab syarat tidak terpenuhi, misal kepemilikan saham adalah minimal dua pertiga dan diyakini dalam RUPS luar biasa ini jumlahnya tidak sampai.

Sedangkan Direktur Suluh Budiarto Rahardjo menyatakan, saat masuk ruang RUPS Luar Biasa, dirinya tidak diizinkan membawa notulen. Namun, di sisi lain pihak Ida Winarti dan teman-temanya masuk dan mendominasi acara.

"Padahal dalam putusan PN Bantul terkait RUPS Luar Biasa belum ditentukan siapakah pemimpin sidang, namun seolah olah mereka mendominasi. Mestinya pemimpin sidang itu dipilih oleh direksi, maka karena suasana memanas, kami nyatakan walk out," katanya.


Pewarta : SP
Editor : Hery Sidik
Copyright © ANTARA 2024