Jakarta (ANTARA) - Pada April, salah satu merek mi instan asal Indonesia menarik perhatian publik saat berpartisipasi dalam Korea International Ramyeon Fair yang digelar di Seoul.

"Belakangan ini, banyak turis asal Korea yang menikmati kelezatan mi goreng saat berwisata ke Indonesia. Popularitas mi goreng di kalangan masyarakat Korea pun meningkat, begitu pula dengan minat terhadap mi instan khas Indonesia," demikian pernyataan Direktur Korean Cultural Center Indonesia Kim Yong Woon diterima Antara pada Jumat.

Berbeda dengan ramyeon Korea, mi goreng khas Indonesia tidak berkuah dan memiliki cita rasa gurih serta pedas-manis, yang ternyata cocok dengan lidah masyarakat Korea.

"Secara pribadi, saya sempat merasa kurang puas dengan porsi mi instan Indonesia yang lebih kecil dibandingkan ramyeon Korea. Namun kini, saya lebih menikmatinya karena rasa pedasnya lebih menonjol," kata Kim.

Ramyeon pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Korea pada 1963 sebagai upaya mengatasi krisis pangan. Saat itu, satu bungkus ramyeon dijual dengan harga 10 won. Kini, harga rata-rata ramyeon mencapai 1.000 won atau sekitar Rp11.800.

Pada awalnya, ramyeon kurang diminati karena masyarakat Korea belum terbiasa dengan makanan berbahan dasar tepung. Namun dengan pengembangan rasa yang disesuaikan selera lokal, ramyeon pun menjadi makanan yang sangat digemari.

Kim menambahkan, budaya ramyeon Korea juga semakin populer di kalangan generasi muda Indonesia. Di Jakarta, hadir ramyeon library yang menyerupai perpustakaan, berisi berbagai varian rasa dan merek ramyeon dan pengunjung dapat memilih serta memasak ramyeon mereka sendiri seperti masyarakat Korea di Sungai Han.

Warga Korea biasanya membeli ramyeon di minimarket, memasaknya di tempat dan menikmatinya di taman Sungai Han. Fenomena ini dikenal dengan "Ramyeon Sungai Han".

 


Pewarta : Bayu Prasetyo
Editor : Eka Arifa Rusqiyati
Copyright © ANTARA 2025