Yogyakarta (ANTARA) - Sosiolog UGM Gregorius Ragil Wibawanto, S.Sos., MAPS menyampaikan teknologi algoritma yang digunakan oleh platform digital seperti Spotify, TikTok, dan YouTube ternyata lebih mengenal diri seseorang secara mendalam daripada dirinya sendiri. Hal ini diungkapkannya dalam sebuah talkshow pada Pesta Buku Jogja 2025 yang diadakan di GIK UGM pada Rabu (3 Desember 2025).

Ragil, yang juga penulis Buku Masyarakat Digital: Teknologi Kekuasaan dan Kekuasaan Teknologi ini membagikan pengalamannya terkait cara kerja algoritma dalam memilih rekomendasi konten. 

Ia menceritakan sebuah kejadian lucu saat dirinya mendengarkan lagu John Mayer dan tiba-tiba platform tersebut beralih ke lagu Tulus. 

"Itu membuat saya bertanya, apakah pemain keyboard John Mayer juga memainkan musik Tulus?," cerita Ragil.

Menurut Ragil, platform seperti Spotify kini tidak hanya mengandalkan genre atau mood untuk memberikan rekomendasi. 

"Sekarang, platform digital memotong data dari lebih dari 1.500 kategori. Mereka tidak lagi hanya melihat genre, tapi lebih kepada preferensi performatif pengguna," jelasnya.

Lebih lanjut, Ragil menyatakan bahwa algoritma di balik teknologi ini dapat lebih memahami kehidupan manusia daripada diri kita sendiri. 

“Algoritma tidak bekerja dengan melihat demografi seperti kita yang seringkali mengaitkan budaya atau asal daerah dengan preferensi tertentu. Algoritma lebih mengenal pola perilaku kita yang lebih personal,” ujarnya.

Ragil juga membahas bagaimana sistem rekomendasi yang tampak netral sebenarnya mengandung bias sosial. 

Ia mengatakan beberapa riset menunjukkan bahwa algoritma sering menampilkan penyanyi laki-laki lebih banyak daripada perempuan. 

"Ini menandakan bahwa teknologi tidak sesederhana yang kita kira. Teknologi adalah konstruksi sosial, bukan hanya alat teknis," tegasnya.

Fenomena konten viral di media sosial juga menunjukkan bagaimana algoritma mempengaruhi perilaku seseorang.

"Di WhatsApp, kita sering melihat teman-teman membagikan sesuatu yang viral dan kita merasa terdorong untuk membacanya hanya karena banyak yang sudah membaca. Padahal, apakah itu benar? Tidak ada kaitannya antara viralitas dengan kebenarannya," katanya.

Ragil bahkan melakukan eksperimen di kelasnya dengan menutup semua perangkat digital mahasiswa.

“Mereka merasa tidak berdaya tanpa teknologi. Yang biasanya sibuk mengetik di laptop pun merasa itu tidak adil. Padahal mereka tidak pernah berkata demikian kepada mereka yang tidak punya laptop,” ujarnya.

Eksperimen ini mengungkapkan betapa besar ketergantungan seseorang terhadap teknologi digital. 

"Teknologi sekarang sudah menjadi ekstensi dari tubuh kita. Ketergantungan ini semakin besar dan mempengaruhi cara kita hidup," tutup Ragil.


Pewarta : Indra Kurniawan
Editor : Nur Istibsaroh
Copyright © ANTARA 2025