Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Leonardo AA Teguh Sambodo mengatakan bencana di Sumatera merupakan efek dari triple planetary crisis.
Tiga krisis tersebut mencakup perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi maupun limbah.
“Ini kita alami dalam bencana terakhir di Sumatera. Ini adalah gabungan dari ketiganya. antara ketidaksiapan kita bagaimana kemudian dampak dari aktivitas manusia, tapi pada saat yang sama juga melihat bahwa sebagian di antaranya sudah ada yang hilang, sehingga mungkin ke depan ini menjadi salah satu pekerjaan rumah yang juga perlu diperbaiki,” ujarnya dalam agenda “Talkshow Kolaborasi untuk Negeri: “Harmonisasi Regulasi Extended Producer Responsibility (EPR)” yang diadakan Lembaga Pendidikan ANTARA (LPA), di Jakarta, Selasa.
Artinya, menurut dia, triple planetary crisis bukan sekadar narasi ilmiah saja, tetapi satu realitas yang berdampak sangat nyata bagi stabilitas ekonomi dan sosial masyarakat.
Data menunjukkan penggunaan sumber daya alam global meningkat 65 persen dalam dua dekade terakhir.
Namun, tingkat sirkularitas (memanfaatkan kembali dari sumber daya alam secara global) justru menurun dari 6,86 persen pada tahun 2020 menjadi hanya 6,9 persen pada tahun 2024.
Di tingkat regional, posisi ASEAN dinilai sangat krusial karena menyumbang lebih dari separuh kebocoran plastik ke lautan global setiap tahun.
"Sangat memprihatinkan bahwa 6 dari 10 negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, berada di daftar pencemaran plastik ke laut dunia,” ujar Teguh pula.
Selain itu, infrastruktur manajemen sampah di ASEAN sendiri disebut belum mampu mengimbangi pesatnya urbanisasi yang berkontribusi terhadap pencemaran plastik.
Saat ini, katanya lagi, lebih dari 50 persen sampah di ASEAN tak terangkut dan hanya kurang dari seperempat berhasil didaur ulang.
Tantangan serupa dihadapi Indonesia yang diproyeksikan akan mengalami peningkatan timbulan sampah domestik mencapai lebih dari 82 juta ton per tahun, apabila hanya dilaksanakan secara business as usual.
Jika tak dilakukan intervensi yang radikal, maka tempat pemrosesan akhir (TPA) di berbagai daerah diprediksi penuh total pada tahun 2028.
“Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan manajemen sampah di hilir atau sekadar kumpul, angkut, buang. Kita membutuhkan perubahan paradigma,” kata dia lagi.
“Oleh karena itu, ekonomi sirkular menjadi salah satu pilihan. Ekonomi sirkular merupakan modal ekonomi yang meminimalkan penggunaan sumber daya sejak awal sejak design produk sampai kemudian kita menggunakannya, sampai kemudian kita kembali menggunakannya lagi atau mengelolanya dengan baik, dan memastikan sisa konsumsi bisa kembali ke dalam rantai nilai,” kata dia lagi.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bappenas sebut bencana di Sumatera efek dari "triple planetary crisis"