Mantan KPU Wahyu Setiawan dituntut 8 tahun penjara

id wahyu setiawan,kpu,tuntutan,kpk,suap,agustiani tio fridelina,harun masiku

Mantan KPU Wahyu Setiawan dituntut 8 tahun penjara

Dokumen. Mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan (kanan) bersiap menjalani sidang dakwaan secara virtual dalam kasus dugaan korupsi penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/5/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

Jakarta (ANTARA) - Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan dituntut delapan tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan karena dinilai terbukti menerima suap.

Wahyu Setiawan diduga menerima suap sebesar Rp600 juta dari kader PDI-Perjuangan Saeful Bahri dan Rp500 juta dari Sekretaris KPUD Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Payapo.

"Menuntut supaya menjadi hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan terdakwa I Wahyu Setiawan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan primair dan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kumulatif kedua. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama delapan tahun dan pidana denda sebesar Rp400 juta subsider enam bulan kurungan," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Ronald Worotikan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Sedangkan kader PDI-Perjuangan Agustiani Tio Fridelina yang didakwa menerima suap Rp600 juta dari Harun Masiku bersama-sama dengan Wahyu dituntut empat tahun penjara.

"Menyatakan terdakwa II Agustiani Tio Fridelina terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan primair. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider enam bulan kurungan," tambah jaksa Ronald.

Tuntutan itu berdasarkan dakwaan pertama primer dari pasal 12 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP sedangkan untuk Wahyu ditambah dengan dakwaan pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

JPU KPK meminta pencabutan hak politik Wahyu pada masa waktu tertentu.

"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," tambah jaksa Ronald.

Pengadilan berlangsung tanpa dihadiri kedua terdakwa. Hanya ada majelis hakim yang dipimpin Tuty Haryati, jaksa penuntut umum (JPU) KPK dan penasihat hukum sedangkan terdakwa Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina mengikuti persidangan melalui "video conference" dari gedung KPK.

Dalam dakwaan pertama, JPU KPK Menilai Wahyu dan Agustiani terbukti menerima uang sebesar 19.000 dolar Singapura dan 38.350 dolar Singapura atau seluruhnya Rp600 juta dari kader PDI-P Saeful Bahri.

Tujuan penerimaan uang tersebut adalah agar Wahyu Setiawan dapat mengupayakan KPU menyetujui permohonan Penggantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI PDI-Perjuangan dari dapil Sumatera Selatan 1, yakni Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

Awalnya, DPP PDIP memberitahukan kepada KPU pada 11 April 2019 bahwa calon legislatif PDIP dapil Sumsel I atas nama Nazarudin Kiemas meninggal dunia namun nama yang bersangkutan masih tetap tercantum dalam surat suara pemilu.

Pada 21 Mei 2019, KPU melakukan rekapitulasi perolehan suara PDIP dapil Sumsel 1 dengan perolehan suara terbanyak oleh Riezky Aprilia sebanyak 44.402 suara. Di Dapil yang sama, Harun Masiku mendapat suara 5.878.

Namun pada Juli 2019 rapat pleno PDIP memutuskan Harun Masiku sebagai caleg pengganti terpilih yang menerima pelimpahan suara dari Nazaruddin Kiemas. Atas keputusan rapat pleno DPP PDIP tersebut, Hasto Kristiyanto selaku Sekjen PDIP meminta Donny Tri Istiqomah selaku penasihat hukum PDIP untuk mengajukan surat permohonan ke KPU RI.

Namun KPU menyatakan tidak dapat mengakomodir permohonan DPP PDIP karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Karena KPU tidak mengabulkan permohonan PDIP tersebut, maka pada September 2019, kader PDIP lain yaitu Saeful Bahri menghubungi Agustiani Tio selaku kader PDIP yang pernah menjadi anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sehingga mengenal Wahyu Setiawan

Lalu Agustiani Tio pun menyampaikan hal tersebut kepada Wahyu termasuk meneruskan pesan "whatsapp" 24 September 2019 dari Saeful berisi surat DPP PDIP nomor 2576/EX/DPP/VIII/2019 kepada KPU RI soal permohonan pelaksanaan putusan MA. Setelah menerima pesan tersebut, Wahyu membalas dengan isi pesan "siap mainkan".

Penerimaan pertama dilakukan pada 17 Desember 2019 sebesar 19 ribu dolar Singapura (sekitar Rp200 juta) yang diserahkan oleh sopir Saeful Bahri yaitu Moh. Ilham Yulianto (atas perintah dari Saeful Bahri) dan diterima Agustiani Tio.

Setelah menerima uang tersebut Agustiani melaporkan ke Wahyu. Selanjutnya pada sore harinya di restoran di mall Pejaten Village, Agustiani menyerahkan uang tersebut ke Wahyu namun Wahyu hanya mengambil 15 ribu dolar Singapura sedangkan sisanya diambil Agustiani.

Penerimaan kedua pada 26 Desember 2019, sebesar 38.350 dolar Singapura (sekitar Rp400 juta) yang diserahkan langsung Saeful Bahri kepada Agustiani Tio di satu restoran di mall Pejaten Village. Setelah menerima uang tersebut, Agustiani melaporkan kepada Wahyu yang datang belakangan dan Wahyu meminta agar uagn itu disimpan dulu oleh Agustiani.

Pada 8 Januari 2020, baru Wahyu meminta sebagian yaitu Rp50 juta untuk ditransfer ke rekening pribadinya.

"Bahwa di persidangan ini terdakwa I hanya mengakui penerimaan yang pertama saja dan membantah terhadap penerimaan kedua dengan alasan uangnya masih di tangan terdakwa II atau secara fisik belum diterima oleh terdakwa I, namun bantahan itu haruslah dikesampingkan karena keberadaan uang sebesar 38.350 dolar Singapura yang dipegang terdakwa II merupakan arahan antara terdakwa I dan terdakwa II," tambah jaksa Ronald.

Sedangkan dalam dakwaan kedua, Wahyu Setiawan juga menerima uang sebesar Rp500 juta dari Sekretaris KPUD Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Papayo terkait proses seleksi Calon Anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode tahun 2020 - 2025.

Masyarakat Papua saat itu berdemonstrasi karena tinggal 3 Orang Asli Papua (OAP) yang lolos tes akhir dan menuntut agar yang menjadi anggota KPU Provinsi Papua Barat harus ada yang berasal dari putra daerah Papua.

Demi meredakan emosi masyarakat, Thamrin lalu meminta Wahyu mengusahakan agar 3 OAP tersebut seluruhnya lolos yaitu Amus Atkana, Onesimus Kambu dan Paskalis Semunya.

Uang diserahkan pada 3 Januari 2020 yaitu sebesar Rp500 juta yang berasal dari Gubernur Papua Dominggus Mandacan kepada Rosa. Rosa lalu menaruh uang itu di rekeningnya dan meminta rekening Wahyu agar bisa mentransfer uang tersebut.

Uang Rp500 juta ditransfer ke rekening BCA atas nama Ika Indrayani yaitu istri sepupu Wahyu pada 7 Januari 2020. Thamrin juga melaporkan kepada Wahyu telah mentransferkan uang Rp500 juta tersebut.

Terkait perkara ini, Saeful Bahri sudah divonis 1 tahun dan 8 bulan penjara ditambah denga Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan sedangkan Harun Masiku masih berstatus buron.
Pewarta :
Editor: Eka Arifa
COPYRIGHT © ANTARA 2024