Yogyakarta (ANTARA) - Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, di tengah memanasnya tensi geopolitik global antara Amerika Serikat dan China, kembali mengangkat relevansi prinsip politik luar negeri Indonesia yang Bebas Aktif sebagai tema sentral dalam seminar nasional bertajuk “Bebas Aktif: Ujian di Tengah Rivalitas Amerika Serikat dan China”.
Kegiatan itu digelar secara daring pada Sabtu, 17 Mei 2025, dan berhasil menjaring antusiasme dari lebih dari 100 peserta, terdiri dari mahasiswa, jurnalis, hingga masyarakat umum.
Ketua HIMAHI UINSA Muchammad Syahrulloh dalam sambutan pembukaan menegaskan pentingnya menghidupkan kembali semangat politik luar negeri bebas aktif, terutama di kalangan generasi muda.
"Tema tersebut sangat penting untuk mengingatkan kita akan kebijakan politik luar negeri Republik Indonesia (PLNRI) Bebas Aktif dalam percaturan global," katanya.
Ia menambahkan prinsip netralitas yang menjadi dasar kebijakan Bebas Aktif harus terus digaungkan agar tidak pudar oleh dinamika geopolitik masa kini.
Menurutnya mahasiswa Hubungan Internasional perlu memahami kembali semangat para pendiri bangsa dalam menentukan arah diplomasi Indonesia yang tidak berpihak, namun tetap aktif membangun perdamaian dunia.
Baca juga: China tegas bantah sedang bernegosiasi dengan AS soal tarif impor
Baca juga: Tarif hingga 245 persen, Trump sebut kesepakatan dagang dengan China akan adil
Seminar ini menghadirkan jurnalis senior M. Irfan Ilmie, mantan Kepala LKBN ANTARA Biro Beijing periode 2016–2023, sebagai pembicara utama.
Dalam paparannya, Irfan menyebut bahwa kebijakan Bebas Aktif masih sangat relevan, meski terus diuji oleh dinamika rivalitas global.
"Meskipun banyak yang mempertanyakan, kebijakan Bebas Aktif yang dicanangkan proklamator Soekarno-Hatta masih tetap relevan hingga saat ini," tegas Irfan, yang juga pernah menjabat Ketua Ikatan Mahasiswa Hubungan Internasional (Imahi) Universitas Darul 'Ulum Jombang periode 1997–1998.
Irfan menyoroti ketegangan antara AS dan China yang makin menguat sejak era kepemimpinan Donald Trump dan Xi Jinping, termasuk dalam bentuk perang dagang terbuka yang berdampak luas. Dalam konteks ini, katanya, Indonesia harus tetap teguh pada prinsip diplomasi non-blok.
Baca juga: Setelah perang tarif, Trump versus Powell akankah picu guncangan global berikutnya?
"Kita punya sejarah kelam pada era 1960-an manakala kita berupaya mengingkari kebijakan Bebas Aktif tersebut," ujarnya, merujuk pada dinamika politik internasional yang sempat menyeret Indonesia ke dalam ketegangan blok Timur-Barat.
Irfan juga menekankan bahwa meskipun dunia saat ini mengalami situasi yang menyerupai Perang Dingin, kebijakan Bebas Aktif bisa dijalankan dengan fleksibilitas strategis.
"Dengan AS dan China, Indonesia sebenarnya sudah bisa menyeimbangkan hubungan bilateralnya. Di bidang militer, Indonesia memiliki kerja sama yang sangat erat dengan AS. Di sektor ekonomi, Indonesia juga sangat baik hubungan bilateralnya dengan China," pungkasnya.
Baca juga: China berharap pemerintahan Trump pilih kerja sama, bukan konfrontasi
Baca juga: China sebut AS gunakan alasan peretasan untuk kenakan sanksi sepihak