Yogyakarta (ANTARA) - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Yogyakarta menerapkan Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (SKDR) untuk memperkuat deteksi dan penanganan dini penyakit menular berpotensi kejadian luar biasa (KLB).
Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit, Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinkes Kota Yogyakarta Lana Unwanah di Yogyakarta, Jumat, menyebut 24 jenis penyakit menular yang menjadi fokus kewaspadaan karena berpotensi menimbulkan KLB.
"Beberapa di antaranya yaitu demam berdarah dengue (DBD), leptospirosis, difteri, campak, pertusis, hepatitis, COVID-19, pneumonia, dan ISPA," ujar dia.
Menurut Lana, tingginya mobilitas pengunjung ke Kota Yogyakarta dari berbagai wilayah di Indonesia dan luar negeri menjadi faktor risiko penyebaran penyakit.
"Seorang pengunjung dengan penyakit menular berpotensi menularkan secara langsung atau tidak langsung kepada masyarakat di Kota Yogyakarta," ujarnya.
Untuk memperkuat implementasi SKDR, Dinkes membangun jejaring kewaspadaan dengan fasilitas pelayanan kesehatan (faskes).
Pada tahap pertama, sistem itu melibatkan 18 puskesmas di seluruh Kota Yogyakarta, dilanjutkan dengan 20 rumah sakit yang menjadi bagian dari sistem pelaporan dan analisis mingguan.
"Semakin lengkap dan tepat data yang diterima, maka identifikasi dan analisis faktor risiko penyakit akan semakin berkualitas," kata dia.
Ketua Tim Kerja Surveilans Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinkes Kota Yogyakarta Solikhin Dwi R menjelaskan penerapan SKDR merupakan tindak lanjut dari kebijakan nasional kewaspadaan dini penyakit dari Kementerian Kesehatan.
"SKDR berfungsi sebagai deteksi dini terhadap ancaman penyakit menular yang berpotensi KLB atau wabah di Kota Yogyakarta," ujar dia.
Sistem SKDR dilengkapi fitur alert peringatan dini yang muncul otomatis di aplikasi ketika jumlah kasus suatu penyakit melebihi ambang batas kewaspadaan.
Peringatan itu diverifikasi oleh tenaga medis dan diikuti respons cepat berupa penyelidikan epidemiologi serta pengendalian faktor risiko di lapangan.
Ia mengatakan data SKDR bersumber dari kunjungan pasien di puskesmas dan rumah sakit yang direkam mingguan.
Deteksi dilakukan berdasarkan gejala dan tanda pada kasus suspek penyakit menular yang diklasifikasikan melalui diagnosis ICDX oleh tenaga medis.
Ia mengakui di lapangan masih terdapat kendala, terutama dalam pelacakan kasus pada wisatawan yang telah meninggalkan penginapan atau warga yang baru pulang dari luar negeri sehingga sulit diidentifikasi domisilinya.
Dia berharap penerapan SKDR tidak hanya meningkatkan kesiapsiagaan fasilitas kesehatan, tetapi juga mendorong perubahan perilaku masyarakat.
"Lingkungan yang bersih, daya tahan tubuh yang baik, dan perilaku hidup sehat akan sangat membantu dalam mencegah penularan penyakit," ujar dia.
