Pontianak (Antara Jogja) - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof Yusril Ihza Mahendra menegaskan pengadilan tidak dalam posisi membuktikan ilmu gaib yang diduga membuat seseorang terkena celaka.
"Namun yang dapat dibuktikan di pengadilan adalah persekongkolan jahat yang dapat mencelakakan orang lain," kata Yusril Ihza Mahendra di seminar tentang hukum adat di Pontianak, Rabu.
Menurut dia, konsep itu yang diajukan di dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang tengah dibahas.
"Jadi tidak ada di dalam rancangan KUHP Nasional mengenai delik santet," kata Yusril Ihza Mahendra.
Ia menambahkan, formasi hukum di Indonesia mengacu ke hukum adat, hukum Islam, hukum sipil kolonial, serta konvensi internasional.
"Semua itu dikemas dalam satu aturan yang bersifat menyeluruh, jadi tidak berupa mutlak misalnya hukum Islam," ujar dia.
Salah satu contoh hukum yang masih mengacu aturan kolonial adalah aturan tentang posisi mengemudi di Indonesia.
"Aturan tersebut ada sejak zaman Belanda, dimana posisi mengemudi atau berjalan di Indonesia, berada di lajur sebelah kiri. Karena pada masa itu, kendaraan didatangkan dari Inggris yang menganut sistem serupa, sementara Belanda tidak punya industri otomotif," kata dia.
Di Belanda sendiri, menganut sistem mengemudi di lajur sebelah kanan.
Revisi terhadap KUHP warisan Belanda sendiri sudah dikaji sejak 25 tahun lalu dan baru sekarang memasuki tahap pembahasan.
"Sehingga, kalau ada persekongkolan jahat, misalnya ada seseorang yang menggunakan jasa dukun untuk menyantet orang lain, terlepas nanti orang tersebut benar-benar celaka, atau celaka karena sebab lain, atau bahkan tidak mengalami apapun, (persekongkolan) itu yang dibuktikan. Bukan ilmu gaib yang dibuktikan di pengadilan," katanya menegaskan.
T011
"Namun yang dapat dibuktikan di pengadilan adalah persekongkolan jahat yang dapat mencelakakan orang lain," kata Yusril Ihza Mahendra di seminar tentang hukum adat di Pontianak, Rabu.
Menurut dia, konsep itu yang diajukan di dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang tengah dibahas.
"Jadi tidak ada di dalam rancangan KUHP Nasional mengenai delik santet," kata Yusril Ihza Mahendra.
Ia menambahkan, formasi hukum di Indonesia mengacu ke hukum adat, hukum Islam, hukum sipil kolonial, serta konvensi internasional.
"Semua itu dikemas dalam satu aturan yang bersifat menyeluruh, jadi tidak berupa mutlak misalnya hukum Islam," ujar dia.
Salah satu contoh hukum yang masih mengacu aturan kolonial adalah aturan tentang posisi mengemudi di Indonesia.
"Aturan tersebut ada sejak zaman Belanda, dimana posisi mengemudi atau berjalan di Indonesia, berada di lajur sebelah kiri. Karena pada masa itu, kendaraan didatangkan dari Inggris yang menganut sistem serupa, sementara Belanda tidak punya industri otomotif," kata dia.
Di Belanda sendiri, menganut sistem mengemudi di lajur sebelah kanan.
Revisi terhadap KUHP warisan Belanda sendiri sudah dikaji sejak 25 tahun lalu dan baru sekarang memasuki tahap pembahasan.
"Sehingga, kalau ada persekongkolan jahat, misalnya ada seseorang yang menggunakan jasa dukun untuk menyantet orang lain, terlepas nanti orang tersebut benar-benar celaka, atau celaka karena sebab lain, atau bahkan tidak mengalami apapun, (persekongkolan) itu yang dibuktikan. Bukan ilmu gaib yang dibuktikan di pengadilan," katanya menegaskan.
T011