Jogja (Antara) - Penerbit universitas perlu melakukan penguatan kapasitas sumber daya manusianya meliputi "editor", "layouter", dan "desainer", kata Sekretaris Badan Penelitian dan Publikasi Universitas Gadjah Mada Mutiah Amini.
"Dengan langkah tersebut diharapkan dapat menerbitkan buku yang berkualitas," katanya pada lokakarya editorial, desain, dan "layout" untuk penerbitan universitas di Yogyakarta, Selasa.
Menurut dia, penerbit universitas merupakan garis depan dari perguruan tinggi dalam mentransfer informasi ke masyarakat melalui berbagai terbitannya.
Namun, kata dia, saat ini banyak badan penerbit perguruan tinggi yang belum berkembang dengan optimal karena tidak memiliki kapabilitas dan pengalaman penerbitan yang memadai.
"Salah satunya karena keterbatasan sumber daya manusia dalam mengelola penerbitan," kata dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Ia mengatakan sebagian besar pegawai penerbit universitas itu merangkap pekerjaan yakni menjadi "editor" sekaligus "layouter", bahkan ada yang tidak memilikinya sama sekali. Hal ini menghambat kemajuan penerbitan perguruan tinggi.
"Editor, `desainer`, dan `layouter` memiliki peranan penting dalam sebuah penerbitan," kata Mutiah.
Menurut dia, editor harus komunikatif sehingga gagasan penulis dapat dipahami oleh pembaca. Desainer diharapkan bisa mendesain sampul semenarik mungkin dan "layouter" harus mampu membuat tampilan halaman buku menarik dan mudah dibaca.
"Materi buku perguruan tinggi itu kan berat, jadi bagaimana agar bisa dipahami dan enak dibaca itu harus jadi fokus perhatian," katanya.
Ia mengatakan untuk meningkatkan pengembangan penerbitan perguruan tinggi di Indonesia, pihaknya menyelenggarakan lokakarya editorial, desain, dan layout untuk penerbitan perguruan tinggi yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah (Jateng).
"Kegiatan itu diikuti 25 penerbit perguruan tinggi wilayah DIY dan Jateng. Melalui kegiatan itu diharapkan dapat mendorong penerbitan perguruan tinggi untuk lebih serius dalam mengelola lembaganya sehingga mampu menerbitkan lebih banyak buku dan berkualitas," kata Mutiah.
(B015)
"Dengan langkah tersebut diharapkan dapat menerbitkan buku yang berkualitas," katanya pada lokakarya editorial, desain, dan "layout" untuk penerbitan universitas di Yogyakarta, Selasa.
Menurut dia, penerbit universitas merupakan garis depan dari perguruan tinggi dalam mentransfer informasi ke masyarakat melalui berbagai terbitannya.
Namun, kata dia, saat ini banyak badan penerbit perguruan tinggi yang belum berkembang dengan optimal karena tidak memiliki kapabilitas dan pengalaman penerbitan yang memadai.
"Salah satunya karena keterbatasan sumber daya manusia dalam mengelola penerbitan," kata dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Ia mengatakan sebagian besar pegawai penerbit universitas itu merangkap pekerjaan yakni menjadi "editor" sekaligus "layouter", bahkan ada yang tidak memilikinya sama sekali. Hal ini menghambat kemajuan penerbitan perguruan tinggi.
"Editor, `desainer`, dan `layouter` memiliki peranan penting dalam sebuah penerbitan," kata Mutiah.
Menurut dia, editor harus komunikatif sehingga gagasan penulis dapat dipahami oleh pembaca. Desainer diharapkan bisa mendesain sampul semenarik mungkin dan "layouter" harus mampu membuat tampilan halaman buku menarik dan mudah dibaca.
"Materi buku perguruan tinggi itu kan berat, jadi bagaimana agar bisa dipahami dan enak dibaca itu harus jadi fokus perhatian," katanya.
Ia mengatakan untuk meningkatkan pengembangan penerbitan perguruan tinggi di Indonesia, pihaknya menyelenggarakan lokakarya editorial, desain, dan layout untuk penerbitan perguruan tinggi yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah (Jateng).
"Kegiatan itu diikuti 25 penerbit perguruan tinggi wilayah DIY dan Jateng. Melalui kegiatan itu diharapkan dapat mendorong penerbitan perguruan tinggi untuk lebih serius dalam mengelola lembaganya sehingga mampu menerbitkan lebih banyak buku dan berkualitas," kata Mutiah.
(B015)