Jogja (Antara) - Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Daerah Istimewa Yogyakarta mendorong para perajin batik di daerah ini mampu meningkatkan daya saing batik di pasar dalam negeri maupun internasional dengan terus memunculkan motif baru.

"Untuk meningkatkan daya saing industri batik kami berharap bisa terus memunculkan inovasi corak-corak baru, jangan sampai monoton yang itu-itu saja," kata Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Daerah Istimewa Yogyakarta, Budi Antono seusai peluncuran "Jogja Fashion Week" 2016 di Yogyakarta, Selasa.

Menurut dia, hingga saat ini jumlah perajin maupun pelaku usaha di sektor industri batik di DIY terus bertambah. Sentra industri batik di DIY antara lain terdapat di Dusun Tancep, Trembowo (Kabupaten Gunung Kidul), Imogiri, Pandak (Kabupaten Bantul), Sapon, Gulurejo, Lendah (Kulon Progo), Turi/lereng merapi (Kabupaten Sleman), dan Taman Sari (Kota Yogyakarta) dengan total corak batik pada 2015 mencapai 400 macam.

"Kami akan terus melakukan pendampingan untuk meningkatkan kompetensi para perajin dalam memunculkan motif-motif baru yang kreatif," kata dia.

Memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), menurut Budi, para perajin bukan hanya dituntut memproduksi batik dengan harga yang kompetitif, namun juga harus mampu menyesuaikan motif serta desain busana batik dengan selera pasar.

"Tidak ada salahnya sesekali mengikuti perkembangan tren fashion dunia," kata dia.

Kepala Seksi Sandang dan Kulit Disperindagkop DIY, Ani Srimulyani mengatakan sesuai data 2015 industri batik di DIY terus mengalami pertumbuhan dengan jumlah IKM mencapai 8.000 IKM. Jumlah itu meningkat dari 2013 yang masih berjumlah 3.000 IKM yang tersebar di lima kabupaten/kota.

Menurut dia, rata-rata industri kecil menengah (IKM) batik mampu memproduksi 20 meter kain per hari dengan mematok harga mulai Rp500 ribu per lembar untuk batik tulis, dan mulai Rp150 ribu/lembar untuk batik cap.

(L007)

Pewarta : Luqman Hakim
Editor : Hery Sidik
Copyright © ANTARA 2024