Yogyakarta (Antara) - Dialog antaragama mampu menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat multikultural, kata peneliti dari Universitate Jaime, Spanyol, Sidi M Omar.

"Dialog antaragama dapat memainkan peran penting dalam memfasilitasi interaksi yang konstruktif dan kolaboratif antara orang-orang yang berbeda agama," katanya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Senin.

Pada diskusi "Mahathir Global Peace School 5", Sidi mengatakan, hal itu untuk menghindari risiko pemahaman yang salah terhadap agama tertentu serta alasan di balik konflik dalam masyarakat multikultural.

Menurut dia, ada beberapa masalah yang terjadi dalam kehidupan multikultural di dunia saat ini. Salah satunya adalah "Clash of Ignorance" yaitu ketidakpedulian seseorang terhadap budaya, suku, dan agama orang lain.

"Ketidakpedulian punya implikasi signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural karena hal itu membentuk kesadaran masyarakat dalam menentukan jalan dalam mempersepsikan mereka dengan yang lain dalam wilayah kultural mereka," katanya.

Ia mengatakan, masalah lainnya adalah terdapat "kebutahurufan agama" atau yang disebut "Religious Illteracy" yaitu kecenderungan untuk mengenali agama semata-mata dengan praktik kebaktian.

Misalnya, upacara, ritual, dan festival keagamaan ditambah dengan kecenderungan melihat tindakan individu, masyarakat, dan bangsa secara eksklusif untuk agama tanpa mengetahui dasar agama tersebut melakukan hal itu.

"Saat ini `Religious Iliteracy` sudah menyebar. Hal itu merupakan wujud ketidakmampuan seseorang untuk memahami dan terlibat dengan perbedaan agama dan budaya dalam masyarakat multikultural saat ini," katanya.

Oleh karena itu, menurut Sidi, penting melakukan dialog antaragama sebagai alternatif penyelesaian konflik di era sekarang.

Agama sebagai seperangkat kepercayaan, standar moral, dan praktik ritual yang memandu sifat individu dan sosial sangat berperan sebagai dimensi yang kuat bagi pengalaman hidup manusia.

"Saya kira sangat perlu untuk mendalami dialog antaragama yang berkontribusi untuk memecah kebuntuan di antara ketidakpedulian dan intoleransi sehingga menciptakan alternatif konstruktif untuk konflik multikulutural," katanya.

Ia mengatakan, dialog antaragama harus dilakukan secara terbuka dan inklusif untuk semua kalangan masyarakat.

"Dialog antaragama jangan dilakukan secara eksklusif oleh elit politik, tokoh agama, dan akademis, tetapi juga dipahami dan dibawa secara terbuka, yang melibatkan masyarakat beragama yang lebih luas di semua tingkatan," kata Sidi.

(B015)

Pewarta : Bambang Sutopo Hadi
Editor : Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024