Kulon Progo (Antaranews Jogja) - Perajin Tenun Bantarjo Desa Banguncipto, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengembangkan tenun lurik tradisional yang permintaan dari waktu ke waktu sangat tinggi.
     Pemilik Tenun Bantarjo Udjik Sudaryati di Kulon Progo, Selasa, mengatakan pengembangan  tenun lurik tradisional berawal adanya kebijakan Gubernur DIY Sri Sultan HB X mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) di DIY memakai pakaian tradisional gaya Jawa Yogyakarta setiap Kamis Pahing penanggalan Jawa.
     "Kami menangkap peluang itu dengan mengembangkan tenun lurik tradisional. Kebetulan, masyarakat di Bantarjo menjadi perajin stagen yang menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM), kemudian kami kembangkan keterampilan mereka menenun lurik," kata Udjik.
    Ia mengatakan perajin stagen di Bantarjo mendapat pelatihan dan pendampingan dari Tenun Mumbul Kalibawang. Setelah perajin di Bantarjo memiliki keterampilan membuat tenun, Pemkab Kulon Progo melalui Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah memberikan bantuan 10 unit ATBM kepada Kelompok Tenun Bantarjo.
     Selain itu, pihaknya selalu diikutsertakan dalam berbagai pameran tingkat kabupaten hingga nasional untuk mempromosikan produk Tenun Bantarjo.
     "Dari waktu ke waktu permintaan terus meningkat, baik untuk pakaian ASN di DIY, dan luar daerah. Lurik produksi Tenun Bantarjo semakin dikenal masyarakat luas," katanya.
     Udjik mengatakan harga lurik buatan Tenun Bantarjo berkisar Rp35 ribu hingga Rp50 ribu per meter. Harga lurik hasil produksi kelompoknya memamg sedikit lebih mahal dibandingkan lurik dari Klaten (Jawa Tengah). 
     Lurik dari Klaten berkisar Rp35 ribu per meter karena pembuatannya menggunakan mesin. Hal ini berbeda dengan lurik dari Bantarjo yang sedikit mahal karena dikerjakan dengan ATBM.
     "Lurik Bantarjo bersaing dengan lurik dari Klaten secara harga. Lebih mahalnya lurik Bantarjo karena dikerjakan dengan ATBM, kami harus mengeluarkan biaya produksi bagi pembuat lurik ATBM," katanya.
      Ia mengatakan kendala pengembangkan tenun lurik ini, sulitnya mendapat benang katun sebagai bahan dasar lurik. Dirinya harus membeli benang ke Klaten dan Solo (Jawa Tengah). Harga benang sangat mahal dan ketersediaannya sangat terbatas.
     "Kendala produksi tenun lurik yakni ketersediaan benang yang sedikit dan harus membeli dari luar DIY," katanya.
     Salah satu pembuat tenun di Dusun Banguncipto Tumiyem (50) mengaku upah menenun setip meter sebesar Rp7 ribu. Dirinya mampu memenun tiga meter persegi dari 07.00 WIB sampai 12.00 WIB.
     "Setiap bulan mampu memenun sekitar 36 meter. Pendapatannya cukup untuk membantu keluarga memenuhi kebutuhan sehari-hari," katanya.
     Selain menenun lurik, dirinya menenun stagen di rumah dari 13.00 WIB sampai 17.00 WIB. Dalam waktu empat jam, dirinya mampu menenun stagen sepanjang sembilan meter dengan upah Rp5 ribu.
     "Hasilnya lumayan untuk tabungan. Saya ambil material stangen dari pengusaha tenun Gamplong, Sleman," katanya. 
 

Pewarta : Sutarmi
Editor : Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024