Yogyakarta (Antaranews Jogja) - Jamasan pusaka milik Pemerintah Kota Yogyakarta berupa tombak yang diberi nama Kyai Wijaya Mukti pada tahun ini digelar lebih semarak dibanding prosesi jamasan pada tahun-tahun sebelumnya.
“Unsur budaya pada jamasan tahun ini lebih ditonjolkan. Kami pun tidak hanya menjalani prosesi jamasan pusaka saja tetapi juga memberikan informasi mengenai budaya jamasan pusaka,” kata Camat Kraton yang juga bertindak sebagai Abdi Dalem Keprajan Widodo Mujiatno di sela jamasan pusaka di Yogyakarta, Kamis.
Pada penyelenggaraan tahun sebelumnya, prosesi jamasan pusaka biasanya digelar di halaman air mancur kompleks Balai Kota Yogyakarta, namun pada tahun ini digelar di tempat yang lebih luas yaitu di halaman Graha Pandawa kompleks Balai Kota Yogyakarta.
Prosesi jamasan pun dilakukan lebih lengkap yaitu tidak hanya membawa dan mengeluarkan tombak Kyai Wijaya Mukti dari tempat penyimpanannya saja ke lokasi jamasan, tetapi tombak dikirab mengelilingi hampir separuh kompleks Balai Kota Yogyakarta diiringi sejumlah abdi dalem sebelum dijamas.
Widodo menyebut, prosesi jamasan pusaka di Pemerintah Kota Yogyakarta selalu digelar setelah prosesi jamasan yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta.
Sebelum menjadi pusaka Pemerintah Kota Yogyakarta, Kyai Wijaya Mukti adalah pusaka milik Keraton Yogyakarta. Pusaka tersebut kemudian diserahkan ke Pemerintah Kota Yogyakarta bertepatan pada peringatan hari ulang tahun ke-53 Pemerintah Kota Yogyakarta pada 7 Juni 2000.
Tombak yang dibuat pada 1921 atau pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VIII itu memiliki panjang tiga meter. Tombak dengan pamor wos wutah wengkon dengan daphur kudhuping gambir ini, memiliki landean (gagang) sepanjang 2,5 meter yang terbuat dari kayu walikukun.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi yang baru menjalani prosesi jamasan untuk pertama kalinya, mengaku tidak merasa canggung saat diminta membersihkan tombak Kyai Wijaya Mukti.
“Pada dasarnya, pelaksanaan jamasan ini tidak ada bedanya dengan membersihkan barang yang sehari-hari kita gunakan. Misalnya, baju yang harus dicuci setelah digunakan agar menjadi bersih dan tetap dalam kondisi yang baik. Jamasan pusaka pun demikian,” kata Heroe.
Namun demikian, ia mengatakan, ada makna lain dari prosesi jamasan karena tombak tersebut memiliki amanah yang harus dijalankan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta.
“Pada era sekarang, tombak ini dapat dimaknai sebagai sebuah surat atau pesan. Hanya saja, pada zamannya memang diwujudkan dalam bentuk sebuah pusaka. Dengan dibersihkan, maka pemerintah seperti diingatkan untuk bisa memenuhi amanah yang diberikan,” katanya.
Kebetulan, lanjut Heroe, prosesi jamasan ini digelar berdekatan dengan hari ulang tahun ke-262 Kota Yogyakarta yang akan diperingati pada Minggu (7/10).
“Jika dikaitkan dengan hari ulang tahun, maka makna dari jamasan ini dapat diartikan bahwa seluruh aparat Pemerintah Kota Yogyakarta harus betul-betul bekerja dan mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat,” katanya.
Ia menyebut, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan di antaranya menekan tingkat kesenjangan masyarakat yang masih tinggi, perbaikan infrastrutur agar Yogyakarta memenuhi syarat sebagai kota wisata dan pendidikan.
“Ada beberapa pekerjaan rumah, yaitu memperbaiki wajah Yogyakarta agar semakin ramah dan nyaman sebagai kota wisata dan pendidikan,” katanya.
Selain tombak Kyai Wijaya Mukti, dalam prosesi jamasan tersebut juga terdapat sekitar 20 keris milik pegawai Pemerintah Kota Yogyakatra maupun abdi dalem yang juga dijamas.
“Unsur budaya pada jamasan tahun ini lebih ditonjolkan. Kami pun tidak hanya menjalani prosesi jamasan pusaka saja tetapi juga memberikan informasi mengenai budaya jamasan pusaka,” kata Camat Kraton yang juga bertindak sebagai Abdi Dalem Keprajan Widodo Mujiatno di sela jamasan pusaka di Yogyakarta, Kamis.
Pada penyelenggaraan tahun sebelumnya, prosesi jamasan pusaka biasanya digelar di halaman air mancur kompleks Balai Kota Yogyakarta, namun pada tahun ini digelar di tempat yang lebih luas yaitu di halaman Graha Pandawa kompleks Balai Kota Yogyakarta.
Prosesi jamasan pun dilakukan lebih lengkap yaitu tidak hanya membawa dan mengeluarkan tombak Kyai Wijaya Mukti dari tempat penyimpanannya saja ke lokasi jamasan, tetapi tombak dikirab mengelilingi hampir separuh kompleks Balai Kota Yogyakarta diiringi sejumlah abdi dalem sebelum dijamas.
Widodo menyebut, prosesi jamasan pusaka di Pemerintah Kota Yogyakarta selalu digelar setelah prosesi jamasan yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta.
Sebelum menjadi pusaka Pemerintah Kota Yogyakarta, Kyai Wijaya Mukti adalah pusaka milik Keraton Yogyakarta. Pusaka tersebut kemudian diserahkan ke Pemerintah Kota Yogyakarta bertepatan pada peringatan hari ulang tahun ke-53 Pemerintah Kota Yogyakarta pada 7 Juni 2000.
Tombak yang dibuat pada 1921 atau pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VIII itu memiliki panjang tiga meter. Tombak dengan pamor wos wutah wengkon dengan daphur kudhuping gambir ini, memiliki landean (gagang) sepanjang 2,5 meter yang terbuat dari kayu walikukun.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi yang baru menjalani prosesi jamasan untuk pertama kalinya, mengaku tidak merasa canggung saat diminta membersihkan tombak Kyai Wijaya Mukti.
“Pada dasarnya, pelaksanaan jamasan ini tidak ada bedanya dengan membersihkan barang yang sehari-hari kita gunakan. Misalnya, baju yang harus dicuci setelah digunakan agar menjadi bersih dan tetap dalam kondisi yang baik. Jamasan pusaka pun demikian,” kata Heroe.
Namun demikian, ia mengatakan, ada makna lain dari prosesi jamasan karena tombak tersebut memiliki amanah yang harus dijalankan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta.
“Pada era sekarang, tombak ini dapat dimaknai sebagai sebuah surat atau pesan. Hanya saja, pada zamannya memang diwujudkan dalam bentuk sebuah pusaka. Dengan dibersihkan, maka pemerintah seperti diingatkan untuk bisa memenuhi amanah yang diberikan,” katanya.
Kebetulan, lanjut Heroe, prosesi jamasan ini digelar berdekatan dengan hari ulang tahun ke-262 Kota Yogyakarta yang akan diperingati pada Minggu (7/10).
“Jika dikaitkan dengan hari ulang tahun, maka makna dari jamasan ini dapat diartikan bahwa seluruh aparat Pemerintah Kota Yogyakarta harus betul-betul bekerja dan mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat,” katanya.
Ia menyebut, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan di antaranya menekan tingkat kesenjangan masyarakat yang masih tinggi, perbaikan infrastrutur agar Yogyakarta memenuhi syarat sebagai kota wisata dan pendidikan.
“Ada beberapa pekerjaan rumah, yaitu memperbaiki wajah Yogyakarta agar semakin ramah dan nyaman sebagai kota wisata dan pendidikan,” katanya.
Selain tombak Kyai Wijaya Mukti, dalam prosesi jamasan tersebut juga terdapat sekitar 20 keris milik pegawai Pemerintah Kota Yogyakatra maupun abdi dalem yang juga dijamas.