Yogyakarta (ANTARA) - Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Buya Syafii Maarif menyebut kewenangan Komisi III DPR RI untuk ikut menentukan lima calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlalu jauh.
"Menurut saya wewenang Komisi III (DPR RI) itu terlalu jauh," kata Syafii, saat menjadi pembicara dalam Diskusi Panel dengan tema "Tantangan Menjaga Integritas Dalam Penegakan Hukum dan Keadilan", di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Selasa.
Menurut Syafii, banyak pucuk pimpinan lembaga strategis negara yang pemilihannya harus melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR, tak terkecuali KPK.
Bahkan, seorang duta besar, kata dia, juga dipilih oleh DPR. "Apa tidak keterlaluan, karena mereka yang membuat undang-undang. Menurut saya agak dikurangilah wewenang mereka," kata Syafii yang juga anggota Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Saat ini DPR RI sedang melakukan seleksi capim KPK periode 2019-2023 dari 10 nama menjadi lima nama melalui uji kelayakan dan kepatutan.
Kesepuluh nama itu adalah Alexander Marwata, Firli Bahuri, I Nyoman Wara, Johanid Tanak, Lili Printauli Siregar, Luthfi H Jayadi, Nawawi Pomolongo, Nurul Ghufron, Robi Arya Brata dan Sigit Danang Joyo.
Dalam diskusi itu, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Ni'matul Huda membenarkan bahwa hampir seluruh pejabat publik harus melalui uji kelayakan di DPR RI.
Menurut dia, pascareformasi, memang banyak regulasi yang mendukung kewenangan DPR RI tersebut. Hal itu terjadi sejak adanya pergeseran dari pasal 5 UUD 1945 ke pasal 20 UUD 1945, dari sebelumnya kewenangan pembuatan UU di tangan presiden, menjadi di tangan DPR.
"Setidaknya ada 24 undang-undang yang semuanya menyatakan untuk pengisian jabatan publik 'fit and proper test'-nya di DPR," kata dia.
Dengan kewenangan itu, menurut Ni'matul, tidak menutup kemungkinan bahwa setiap calon pejabat publik yang ingin terpilih harus melakukan negosiasi dan transaksi dengan partai politik.
"Sebagus apa pun (calon pejabat publik) didorong, kalau kemudian partai politik tidak dalam posisi mendukung ya sulit," kata dia.
"Menurut saya wewenang Komisi III (DPR RI) itu terlalu jauh," kata Syafii, saat menjadi pembicara dalam Diskusi Panel dengan tema "Tantangan Menjaga Integritas Dalam Penegakan Hukum dan Keadilan", di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Selasa.
Menurut Syafii, banyak pucuk pimpinan lembaga strategis negara yang pemilihannya harus melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR, tak terkecuali KPK.
Bahkan, seorang duta besar, kata dia, juga dipilih oleh DPR. "Apa tidak keterlaluan, karena mereka yang membuat undang-undang. Menurut saya agak dikurangilah wewenang mereka," kata Syafii yang juga anggota Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Saat ini DPR RI sedang melakukan seleksi capim KPK periode 2019-2023 dari 10 nama menjadi lima nama melalui uji kelayakan dan kepatutan.
Kesepuluh nama itu adalah Alexander Marwata, Firli Bahuri, I Nyoman Wara, Johanid Tanak, Lili Printauli Siregar, Luthfi H Jayadi, Nawawi Pomolongo, Nurul Ghufron, Robi Arya Brata dan Sigit Danang Joyo.
Dalam diskusi itu, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Ni'matul Huda membenarkan bahwa hampir seluruh pejabat publik harus melalui uji kelayakan di DPR RI.
Menurut dia, pascareformasi, memang banyak regulasi yang mendukung kewenangan DPR RI tersebut. Hal itu terjadi sejak adanya pergeseran dari pasal 5 UUD 1945 ke pasal 20 UUD 1945, dari sebelumnya kewenangan pembuatan UU di tangan presiden, menjadi di tangan DPR.
"Setidaknya ada 24 undang-undang yang semuanya menyatakan untuk pengisian jabatan publik 'fit and proper test'-nya di DPR," kata dia.
Dengan kewenangan itu, menurut Ni'matul, tidak menutup kemungkinan bahwa setiap calon pejabat publik yang ingin terpilih harus melakukan negosiasi dan transaksi dengan partai politik.
"Sebagus apa pun (calon pejabat publik) didorong, kalau kemudian partai politik tidak dalam posisi mendukung ya sulit," kata dia.