Yogyakarta (ANTARA) - Kriminolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Suprapto menilai aksi kejahatan jalanan yang kerap disebut klitih di Yogyakarta bukan dilakukan para pelakunya tanpa didasari motif.
"Motif jelas ada. Untuk jati diri kelompok, pelampiasan kekecewaan atau ketidakpuasan menjalani hidup maupun rekrutmen pimpinan atau anggota baru (kelompok)," kata Suprapto di Yogyakarta, Kamis.
Suprapto yang juga pengajar di Departemen Sosiologi UGM ini menyebut fenomena kejahatan jalanan yang belakangan masih meresahkan masyarakat Yogyakarta tidak muncul secara tiba-tiba.
Menurut dia, kendati para pelakunya yang kebanyakan berusia remaja tidak sedikit yang berhasil diringkus aparat kepolisian, tampaknya belum secara signifikan membuahkan efek jera bagi pelaku lainnya untuk sama sekali menghentikan aksi kriminalitas itu.
Suprapto menduga ada indoktrinasi yang diberikan secara konsisten oleh para aktor atau senior di belakangnya sehingga membuat para pelakunya berani melakukan aksi kekerasan di jalanan dan biasanya ditambah dengan konsumsi minuman keras untuk memompa nyali mereka.
Dengan kondisi tersebut, menurut dia, penanganan aksi kejahatan jalanan tidak akan cukup jika sekadar memberikan sanksi hukuman kepada pelaku yang tertangkap.
"Harus berusaha mencari penyebab dengan menelusuri siapa yang berada di belakang aksi kejahatan jalanan tersebut," kata Suprapto.
Lebih dari itu, upaya untuk memutus mata rantai kejahatan jalanan, lanjut dia, harus menjadi kesadaran dan tanggung jawab bersama. Tidak cukup jika hanya bergantung pada pemerintah atau aparat kepolisian semata.
"Lembaga keluarga, pendidikan, agama, ekonomi, dan pemerintah, termasuk masyarakat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki perlu terlibat," kata Suprapto.
Di level masyarakat, partisipasi dapat diwujudkan dengan mencegah, menangkap, dan melapor atau membawa pelaku ke kantor polisi tanpa menghakimi sendiri.
"Jika menghakimi sendiri, masyarakat bukan sedang menjadi bagian dari solusi. Akan tetapi, justru menjadi bagian dari masalah karena berusaha mengatasi masalah dengan menciptakan masalah baru," katanya menjelaskan.
Selain itu, kata Suprapto, lembaga pendidikan perlu meningkatkan intensitas implementasi pendidikan karakter bagi para siswa didik.
Secara bersamaan, lembaga keluarga juga harus mampu memenuhi fungsi sosialisasi, pendidikan, dan perlundungan sehingga anak tidak akan terjerumus dalam perilaku anarkis.
"Perilaku manusia, termasuk anak dan remaja memang ditentukan oleh asal dan ajar. Asal adalah perilaku atau karakter bawaan lahir, sedangkan ajar adalah perilaku hasil didikan atau sosialisasi," kata Suprapto.
Menurut dia, hal yang tidak kalah penting perlu dilakukan oleh masyarakat adalah mengkaji terlebih dahulu mengenai maraknya pembicaraan tentang perilaku aksi kejahatan jalanan ini.
"Mana berita aksi kejahatan jalanan yang nyata-nyata terjadi saat ini, mana yang merupakan rekaman peristiwa yang lalu, dan mana yang hoaks karena ternyata tidak semua kabar tentang aksi kejahatan jalanan itu benar adanya," katanya.
"Motif jelas ada. Untuk jati diri kelompok, pelampiasan kekecewaan atau ketidakpuasan menjalani hidup maupun rekrutmen pimpinan atau anggota baru (kelompok)," kata Suprapto di Yogyakarta, Kamis.
Suprapto yang juga pengajar di Departemen Sosiologi UGM ini menyebut fenomena kejahatan jalanan yang belakangan masih meresahkan masyarakat Yogyakarta tidak muncul secara tiba-tiba.
Menurut dia, kendati para pelakunya yang kebanyakan berusia remaja tidak sedikit yang berhasil diringkus aparat kepolisian, tampaknya belum secara signifikan membuahkan efek jera bagi pelaku lainnya untuk sama sekali menghentikan aksi kriminalitas itu.
Suprapto menduga ada indoktrinasi yang diberikan secara konsisten oleh para aktor atau senior di belakangnya sehingga membuat para pelakunya berani melakukan aksi kekerasan di jalanan dan biasanya ditambah dengan konsumsi minuman keras untuk memompa nyali mereka.
Dengan kondisi tersebut, menurut dia, penanganan aksi kejahatan jalanan tidak akan cukup jika sekadar memberikan sanksi hukuman kepada pelaku yang tertangkap.
"Harus berusaha mencari penyebab dengan menelusuri siapa yang berada di belakang aksi kejahatan jalanan tersebut," kata Suprapto.
Lebih dari itu, upaya untuk memutus mata rantai kejahatan jalanan, lanjut dia, harus menjadi kesadaran dan tanggung jawab bersama. Tidak cukup jika hanya bergantung pada pemerintah atau aparat kepolisian semata.
"Lembaga keluarga, pendidikan, agama, ekonomi, dan pemerintah, termasuk masyarakat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki perlu terlibat," kata Suprapto.
Di level masyarakat, partisipasi dapat diwujudkan dengan mencegah, menangkap, dan melapor atau membawa pelaku ke kantor polisi tanpa menghakimi sendiri.
"Jika menghakimi sendiri, masyarakat bukan sedang menjadi bagian dari solusi. Akan tetapi, justru menjadi bagian dari masalah karena berusaha mengatasi masalah dengan menciptakan masalah baru," katanya menjelaskan.
Selain itu, kata Suprapto, lembaga pendidikan perlu meningkatkan intensitas implementasi pendidikan karakter bagi para siswa didik.
Secara bersamaan, lembaga keluarga juga harus mampu memenuhi fungsi sosialisasi, pendidikan, dan perlundungan sehingga anak tidak akan terjerumus dalam perilaku anarkis.
"Perilaku manusia, termasuk anak dan remaja memang ditentukan oleh asal dan ajar. Asal adalah perilaku atau karakter bawaan lahir, sedangkan ajar adalah perilaku hasil didikan atau sosialisasi," kata Suprapto.
Menurut dia, hal yang tidak kalah penting perlu dilakukan oleh masyarakat adalah mengkaji terlebih dahulu mengenai maraknya pembicaraan tentang perilaku aksi kejahatan jalanan ini.
"Mana berita aksi kejahatan jalanan yang nyata-nyata terjadi saat ini, mana yang merupakan rekaman peristiwa yang lalu, dan mana yang hoaks karena ternyata tidak semua kabar tentang aksi kejahatan jalanan itu benar adanya," katanya.