Gunung Kidul (ANTARA) - Kalangan petani di Desa Girisuko, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mulai beralih menanam cabai rawit hijau di lahan persawahan dan tegalan karena potensi pasarnya terbuka lebar.
Salah satu petani di Desa Girisuko, Suyatno di Gunung Kidul, Jumat, mengatakan pada musim hujan ini, ia sengaja tidak menanam padi atau jagung karena beralih menanam cabai rawit hijau.
"Menanam cabai rawit hijau dirasa lebih menguntungkan. Cabai rawit ini berbeda dengan cabai rawit merah yang untuk sambal atau sayur. Cabai jenis ini punya pasar tersendiri," kata Suyatno.
Ia mengaku cabai hasil panenannya dikirim ke Jakarta melalui pengepul di Siluk, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, dengan harga Rp22.000 per kilogram. Pada masa ini, bukanlah pertama kali panen, sebab hal ini merupakan kali ke 10 dirinya memanen cabai tersebut.
"Sebelumnya pernah dua kali petik dihargai Rp48.000 per kilogram, kemudian ada yang Rp30.000 per kilogram. Terakhir, Rp22.000per kilogram," katanya.
Dalam sekali panen ia mampu mendapatkan cabai rawit hijau seberat 90-95 kilogram, sehingga jika ditotal pendapatan kotornya sekali petik rata-rata bisa mencapai Rp1,9 juta.
Dalam satu bulan bisa 4 kali petik atau rata rata seminggu sekali petik. Dalam siklus produksi cabai rawit hijau sekali periode selama enam bulan tanam bisa panen 20 kali.
"Sehingga jika harga bagus bisa mengantongi pendapatan kotor Rp38 juta dari lahan 500 meter persegi dengan rentang waktu produksi selama enam bulan," kata dia.
Ketika disinggung kaitan dengan kunci keberhasilannya, ia mengatakan bahwa petani harus bisa menentukan kapan waktu panen dengan harga tinggi dan direncanakan hitung mundur waktu tanam, sehingga ia berani mulai mengolah lahan dan menanam pada September 2019 meski tidak ada air dan tidak ada hujan. Untuk bibit dibutuhkan 2.400 batang untuk 500 meter persegi
"Pada awal tanam menggunakan air yang dibeli, total pengeluaran kebutuhan air tangki mencapai Rp2,5 juta, sedang sekarang saat sudah hujan seperti ini sudah tidak membeli air pengairan cuma mengandalkan air hujan," kata dia.
Koordinator PPL Kecamatan Panggang, Sumijo, menjelaskan di Desa Girisuko binaannya ada sekitar 19 hektare lahan milik petani yang ditanami cabai rawit hijau dan tersebar di beberapa dusun seperti Pedukuhan Gebang.
Sementara itu Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Gunung Kidul Bambang Wisnu Broto mengatakan kegiatan yang dilakukan Suyatno dapat menginspirasi petani lainnya untuk meningkatkan pendapatan petani dengan mengusahakan pilihan komoditas tanaman bernilai ekonomi.
"Tapi kuncinya punya pasar, dia kan sudah terhubung dengan pasar, sehingga produk yang dihasilkan langsung dapat ditampung oleh pasar," ucap dia.
Sebelumnya Bambang juga sudah mengunjungi lahan cabai rawit hijau di Dusun Gebang. Dari total 19 hektare, komoditas cabai rawit hijau setiap kali panen semuanya dikirim ke Jakarta lewat pedagang pengepul di Bantul.
Salah satu petani di Desa Girisuko, Suyatno di Gunung Kidul, Jumat, mengatakan pada musim hujan ini, ia sengaja tidak menanam padi atau jagung karena beralih menanam cabai rawit hijau.
"Menanam cabai rawit hijau dirasa lebih menguntungkan. Cabai rawit ini berbeda dengan cabai rawit merah yang untuk sambal atau sayur. Cabai jenis ini punya pasar tersendiri," kata Suyatno.
Ia mengaku cabai hasil panenannya dikirim ke Jakarta melalui pengepul di Siluk, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, dengan harga Rp22.000 per kilogram. Pada masa ini, bukanlah pertama kali panen, sebab hal ini merupakan kali ke 10 dirinya memanen cabai tersebut.
"Sebelumnya pernah dua kali petik dihargai Rp48.000 per kilogram, kemudian ada yang Rp30.000 per kilogram. Terakhir, Rp22.000per kilogram," katanya.
Dalam sekali panen ia mampu mendapatkan cabai rawit hijau seberat 90-95 kilogram, sehingga jika ditotal pendapatan kotornya sekali petik rata-rata bisa mencapai Rp1,9 juta.
Dalam satu bulan bisa 4 kali petik atau rata rata seminggu sekali petik. Dalam siklus produksi cabai rawit hijau sekali periode selama enam bulan tanam bisa panen 20 kali.
"Sehingga jika harga bagus bisa mengantongi pendapatan kotor Rp38 juta dari lahan 500 meter persegi dengan rentang waktu produksi selama enam bulan," kata dia.
Ketika disinggung kaitan dengan kunci keberhasilannya, ia mengatakan bahwa petani harus bisa menentukan kapan waktu panen dengan harga tinggi dan direncanakan hitung mundur waktu tanam, sehingga ia berani mulai mengolah lahan dan menanam pada September 2019 meski tidak ada air dan tidak ada hujan. Untuk bibit dibutuhkan 2.400 batang untuk 500 meter persegi
"Pada awal tanam menggunakan air yang dibeli, total pengeluaran kebutuhan air tangki mencapai Rp2,5 juta, sedang sekarang saat sudah hujan seperti ini sudah tidak membeli air pengairan cuma mengandalkan air hujan," kata dia.
Koordinator PPL Kecamatan Panggang, Sumijo, menjelaskan di Desa Girisuko binaannya ada sekitar 19 hektare lahan milik petani yang ditanami cabai rawit hijau dan tersebar di beberapa dusun seperti Pedukuhan Gebang.
Sementara itu Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Gunung Kidul Bambang Wisnu Broto mengatakan kegiatan yang dilakukan Suyatno dapat menginspirasi petani lainnya untuk meningkatkan pendapatan petani dengan mengusahakan pilihan komoditas tanaman bernilai ekonomi.
"Tapi kuncinya punya pasar, dia kan sudah terhubung dengan pasar, sehingga produk yang dihasilkan langsung dapat ditampung oleh pasar," ucap dia.
Sebelumnya Bambang juga sudah mengunjungi lahan cabai rawit hijau di Dusun Gebang. Dari total 19 hektare, komoditas cabai rawit hijau setiap kali panen semuanya dikirim ke Jakarta lewat pedagang pengepul di Bantul.