Jakarta (ANTARA) - Badan Keamanan Laut (Bakamla) Republik Indonesia berencana mengajak pasukan penjaga pantai (coast guard) dari 5 negara anggota ASEAN untuk menyamakan sikap dalam menghadapi klaim China terhadap sebagian besar perairan di Laut China Selatan.
Oleh karena itu, Bakamla berencana menginisiasi pertemuan bersama Kepala Bakamla dari 5 negara ASEAN, yaitu Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam di Batam, Kepulauan Riau, pada 2022.
“Tahun depan, kami merencanakan ini pada Februari, pertemuan kepala-kepala coast guard se-ASEAN untuk melaksanakan rapat pertama kalinya di Batam. Ini mudah-mudahan bisa dilaksanakan dan inisiasi ini dari Bakamla,” kata Kepala Bakamla Laksdya TNI Aan Kurnia saat jumpa pers di Jakarta, Rabu.
Kepala Bakamla menyampaikan tujuan utama pertemuan itu adalah untuk menyamakan sikap dan memperkuat semangat persaudaraan antarnegara terkait tantangan keamanan di kawasan.
“Tujuan utamanya membangun brotherhood (persaudaraan) di antara coast guard. Saya mengikuti pola TNI AL saja. Mereka juga apresiasi komandan-komandan coast guard di sana,” terang Aan.
Kepala Bakamla lanjut menyampaikan kesamaan sikap dan persaudaraan itu penting agar ada kesamaan tindakan terutama terkait adanya tantangan keamanan dan ancaman terhadap hak kedaulatan di masing-masing wilayah.
“Yang diganggu banyak karena nine-dash line (China). Kalau (kami) di lapangan harus buat kesamaan tindakan,” tegas dia.
Tidak hanya itu, Aan menyampaikan pertemuan itu diharapkan juga jadi ajang pertukaran informasi dan peningkatan kapasitas.
Contohnya, ia menyampaikan coast guard dari negara lain dapat berbagi informasi mengenai tantangan yang dihadapi dan langkah-langkah mengatasi persoalan itu saat pertemuan.
“Contoh, misalnya, Malaysia sedang di-ini-in (diganggu). Sama ini, kami juga siap-siap. Memang, dia tidak masuk ke wilayah kita, tetapi paling tidak transfer knowledge (pertukaran wawasan) untuk menghadapi ini seperti apa di lapangan,” sebut Aan.
Oleh karena itu, jika pertemuan itu berhasil diselenggarakan di Batam pada 2022, rapat bersama negara-negara anggota ASEAN dapat terus berlanjut, misalnya di Malaysia kemudian di Vietnam, kata Aan.
“Jauh lebih baik kalau kita duduk sama-sama paling tidak di level coast guard masing-masing lembaga kita punya kesamaan. Intinya, untuk menjaga ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) masing-masing, menjaga landas kontinen masing,” terang dia.
Sejauh ini, Pemerintah China masih mengklaim sebagian besar perairan Laut China Selatan karena menurut dia itu masuk dalam perairan tradisionalnya sebagaimana ditentukan dalam batas sembilan garis putus-putus (nine dash line).
Klaim China pun berseberangan dengan batas-batas wilayah negara lain terutama yang mengacu pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982).
Terkait itu, China juga mengklaim Laut Natuna Utara yang berada di ujung selatan Laut China Selatan sebagai bagian dari wilayahnya.
Namun, Pemerintah Indonesia tunduk pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) yang menetapkan ujung selatan Laut China Selatan merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Oleh karena itu, Bakamla berencana menginisiasi pertemuan bersama Kepala Bakamla dari 5 negara ASEAN, yaitu Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam di Batam, Kepulauan Riau, pada 2022.
“Tahun depan, kami merencanakan ini pada Februari, pertemuan kepala-kepala coast guard se-ASEAN untuk melaksanakan rapat pertama kalinya di Batam. Ini mudah-mudahan bisa dilaksanakan dan inisiasi ini dari Bakamla,” kata Kepala Bakamla Laksdya TNI Aan Kurnia saat jumpa pers di Jakarta, Rabu.
Kepala Bakamla menyampaikan tujuan utama pertemuan itu adalah untuk menyamakan sikap dan memperkuat semangat persaudaraan antarnegara terkait tantangan keamanan di kawasan.
“Tujuan utamanya membangun brotherhood (persaudaraan) di antara coast guard. Saya mengikuti pola TNI AL saja. Mereka juga apresiasi komandan-komandan coast guard di sana,” terang Aan.
Kepala Bakamla lanjut menyampaikan kesamaan sikap dan persaudaraan itu penting agar ada kesamaan tindakan terutama terkait adanya tantangan keamanan dan ancaman terhadap hak kedaulatan di masing-masing wilayah.
“Yang diganggu banyak karena nine-dash line (China). Kalau (kami) di lapangan harus buat kesamaan tindakan,” tegas dia.
Tidak hanya itu, Aan menyampaikan pertemuan itu diharapkan juga jadi ajang pertukaran informasi dan peningkatan kapasitas.
Contohnya, ia menyampaikan coast guard dari negara lain dapat berbagi informasi mengenai tantangan yang dihadapi dan langkah-langkah mengatasi persoalan itu saat pertemuan.
“Contoh, misalnya, Malaysia sedang di-ini-in (diganggu). Sama ini, kami juga siap-siap. Memang, dia tidak masuk ke wilayah kita, tetapi paling tidak transfer knowledge (pertukaran wawasan) untuk menghadapi ini seperti apa di lapangan,” sebut Aan.
Oleh karena itu, jika pertemuan itu berhasil diselenggarakan di Batam pada 2022, rapat bersama negara-negara anggota ASEAN dapat terus berlanjut, misalnya di Malaysia kemudian di Vietnam, kata Aan.
“Jauh lebih baik kalau kita duduk sama-sama paling tidak di level coast guard masing-masing lembaga kita punya kesamaan. Intinya, untuk menjaga ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) masing-masing, menjaga landas kontinen masing,” terang dia.
Sejauh ini, Pemerintah China masih mengklaim sebagian besar perairan Laut China Selatan karena menurut dia itu masuk dalam perairan tradisionalnya sebagaimana ditentukan dalam batas sembilan garis putus-putus (nine dash line).
Klaim China pun berseberangan dengan batas-batas wilayah negara lain terutama yang mengacu pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982).
Terkait itu, China juga mengklaim Laut Natuna Utara yang berada di ujung selatan Laut China Selatan sebagai bagian dari wilayahnya.
Namun, Pemerintah Indonesia tunduk pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) yang menetapkan ujung selatan Laut China Selatan merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.