Jakarta (ANTARA) - Peneliti satwa liar dan ekologi Universitas Indonesia Sunarto mengatakan proteksi untuk badak sumatra memang kunci namun upaya penyelamatan populasi sangat penting untuk saat ini.
Sunarto dalam diskusi virtual Auriga Ngopi Hutan #5: Kinerja Konservasi Badak Sumatra secara daring yang diikuti dari Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa masalah habitat memang pernah menjadi persoalan panjang dalam penyelamatan satwa liar bernama latin Dicerorhinus sumatrensis itu. Akan tetapi, sekarang populasi yang makin tertekan dan perburuan berkepanjangan menjadi persoalan terbesar.
"Mau diproteksi habitatnya kayak apa pun tetapi populasinya sudah melewati ambang batas, tidak ada pilihan lain saat ini rescue yang paling penting," ujarnya.
Sebagian badak sumatra yang sudah diselamatkan juga punya persoalan reproduksi. Masalah hormon menjadi persoalan, sama halnya terjadi juga pada manusia, atau mamalia besar lainnya.
Banyak hal yang belum paham, dahulu ancaman badak sumatra sama dengan harimau, gajah, orang utan. Namun, lanjut dia, kini sudah berbeda, jerat bukan hal utama karena hasil studi tahun 2020 menyebutkan hampir semua badak di captivity memiliki masalah reproduksi.
"Lebih dari 70 persen, bahkan yang baru diselamatkan itu juga ada yang punya masalah reproduksi," katanya.
Dengan kondisi itu, menurut dia, rencana darurat penyelamatan badak sumatra perlu disesuaikan lagi.
Adapun solusi yang diperlukan, antara lain yang sudah dirancang tindakan mendesak secara adaptif dan sinergi oleh pemegang mandat dan mitra kunci, pemahaman publik terkait perlunya tindakan, termasuk risiko yang perlu diambil untuk penyelamatan, dukungan sumber daya, kebijakan, dan moril bagi pengambilan tindakan dan pelaksana di lapangan.
Gambaran distribusi badak sumatra pada tahun 1990-an itu, kata dia, masih dapat ditemukan di Myanmar Selatan, Malaysia, dan Borneo. Namun, akhirnya punah di Sabah pada tahun 2000-an.
Pada tahun 2013 diketahui sekitar 100 individu ada di Indonesia dan pada tahun 2020 diperkirakan hingga 70 ekor. Namun, pada tahun 2022 angkanya belum diketahui.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia (YABI) Sukianto Lusli mengatakan bahwa pemikiran yayasannya yang pertama adalah bagaimana badak sumatra bisa diselamatkan.
Ia menyebutkan fakta pada tahun 2015, ada rencana 10 tahun ke depan, untuk badak jawa perlu dipikirkan habitat kedua, sedangkan untuk badak sumatra harapannya ada 10 individu bayi badak lahir.
"Ternyata sampai sekarang baru dua. Memang butuh individu badak baru untuk menjalankan program perkembangbiakan konservasi," ujarnya.
Dari simulasi yang dilakukan sampai 2025, menurut Sukianto, sepertinya target untuk mendapatkan 10 bayi badak sumatra tidak bisa tercapai. Kalaupun dipaksakan, bisa menghasilkan kekerabatan yang sangat dekat sehingga secara genetik satwa itu tidak akan mampu bertahan.
Tantangan selanjutnya, menurut dia, persoalan daya dukung habitatnya pada masa depan.
Sunarto dalam diskusi virtual Auriga Ngopi Hutan #5: Kinerja Konservasi Badak Sumatra secara daring yang diikuti dari Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa masalah habitat memang pernah menjadi persoalan panjang dalam penyelamatan satwa liar bernama latin Dicerorhinus sumatrensis itu. Akan tetapi, sekarang populasi yang makin tertekan dan perburuan berkepanjangan menjadi persoalan terbesar.
"Mau diproteksi habitatnya kayak apa pun tetapi populasinya sudah melewati ambang batas, tidak ada pilihan lain saat ini rescue yang paling penting," ujarnya.
Sebagian badak sumatra yang sudah diselamatkan juga punya persoalan reproduksi. Masalah hormon menjadi persoalan, sama halnya terjadi juga pada manusia, atau mamalia besar lainnya.
Banyak hal yang belum paham, dahulu ancaman badak sumatra sama dengan harimau, gajah, orang utan. Namun, lanjut dia, kini sudah berbeda, jerat bukan hal utama karena hasil studi tahun 2020 menyebutkan hampir semua badak di captivity memiliki masalah reproduksi.
"Lebih dari 70 persen, bahkan yang baru diselamatkan itu juga ada yang punya masalah reproduksi," katanya.
Dengan kondisi itu, menurut dia, rencana darurat penyelamatan badak sumatra perlu disesuaikan lagi.
Adapun solusi yang diperlukan, antara lain yang sudah dirancang tindakan mendesak secara adaptif dan sinergi oleh pemegang mandat dan mitra kunci, pemahaman publik terkait perlunya tindakan, termasuk risiko yang perlu diambil untuk penyelamatan, dukungan sumber daya, kebijakan, dan moril bagi pengambilan tindakan dan pelaksana di lapangan.
Gambaran distribusi badak sumatra pada tahun 1990-an itu, kata dia, masih dapat ditemukan di Myanmar Selatan, Malaysia, dan Borneo. Namun, akhirnya punah di Sabah pada tahun 2000-an.
Pada tahun 2013 diketahui sekitar 100 individu ada di Indonesia dan pada tahun 2020 diperkirakan hingga 70 ekor. Namun, pada tahun 2022 angkanya belum diketahui.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia (YABI) Sukianto Lusli mengatakan bahwa pemikiran yayasannya yang pertama adalah bagaimana badak sumatra bisa diselamatkan.
Ia menyebutkan fakta pada tahun 2015, ada rencana 10 tahun ke depan, untuk badak jawa perlu dipikirkan habitat kedua, sedangkan untuk badak sumatra harapannya ada 10 individu bayi badak lahir.
"Ternyata sampai sekarang baru dua. Memang butuh individu badak baru untuk menjalankan program perkembangbiakan konservasi," ujarnya.
Dari simulasi yang dilakukan sampai 2025, menurut Sukianto, sepertinya target untuk mendapatkan 10 bayi badak sumatra tidak bisa tercapai. Kalaupun dipaksakan, bisa menghasilkan kekerabatan yang sangat dekat sehingga secara genetik satwa itu tidak akan mampu bertahan.
Tantangan selanjutnya, menurut dia, persoalan daya dukung habitatnya pada masa depan.