Yogyakarta (ANTARA) - Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati menyebut sejumlah partai politik baru yang muncul menyongsong Pemilu 2024 tidak ada yang mengusung ideologi baru sebagai alternatif bagi konstituennya.
"Ideologi mereka kan tidak terlalu banyak berbeda dengan (partai) induknya," kata Mada dalam diskusi "Pojok Bulaksumur" di UGM, Yogyakarta, Kamis.
Sejumlah partai baru di Indonesia lahir, kata dia, sebagian besar dipicu karena sakit hati dan bukan soal ideologi baru yang akan diusung.
"Sakit hati, tidak dapat jawaban, lempar-lemparan kursi di partai, dan seterusnya. Jadi simpel sekali, partai-partai baru di Indonesia ini lahir," kata dia.
Ia mencontohkan sejumlah partai baru yang berideologi tak jauh berbeda dari partai induknya di antaranya Partai Ummat dengan Partai Amanat Nasional (PAN) serta Partai Gelora dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sejumlah partai tersebut kemudian saling berebut basis masa yang sama.
"Jadi kalau ada partai baru yang ideologinya sama tapi konstituennya tidak nambah nah itu kan berarti pertarungannya sebenarnya internal di antara mereka sendiri," kata Mada Sukmajati.
Dengan pola semacam itu, menurut dia, pergantian perilaku memilih itu jarang sekali yang dari pendukung partai nasionalis ke partai islam atau sebaliknya.
"Biasanya mutar-nya ya pada partai-partai nasionalis. Jadi kalau enggak milih Partai Gerindra ya PDIP atau sebaliknya. Kalau enggak milih PKB ya PPP, jadi mutar di situ aja," kata dia.
"Ideologi mereka kan tidak terlalu banyak berbeda dengan (partai) induknya," kata Mada dalam diskusi "Pojok Bulaksumur" di UGM, Yogyakarta, Kamis.
Sejumlah partai baru di Indonesia lahir, kata dia, sebagian besar dipicu karena sakit hati dan bukan soal ideologi baru yang akan diusung.
"Sakit hati, tidak dapat jawaban, lempar-lemparan kursi di partai, dan seterusnya. Jadi simpel sekali, partai-partai baru di Indonesia ini lahir," kata dia.
Ia mencontohkan sejumlah partai baru yang berideologi tak jauh berbeda dari partai induknya di antaranya Partai Ummat dengan Partai Amanat Nasional (PAN) serta Partai Gelora dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sejumlah partai tersebut kemudian saling berebut basis masa yang sama.
"Jadi kalau ada partai baru yang ideologinya sama tapi konstituennya tidak nambah nah itu kan berarti pertarungannya sebenarnya internal di antara mereka sendiri," kata Mada Sukmajati.
Dengan pola semacam itu, menurut dia, pergantian perilaku memilih itu jarang sekali yang dari pendukung partai nasionalis ke partai islam atau sebaliknya.
"Biasanya mutar-nya ya pada partai-partai nasionalis. Jadi kalau enggak milih Partai Gerindra ya PDIP atau sebaliknya. Kalau enggak milih PKB ya PPP, jadi mutar di situ aja," kata dia.