Jakarta (ANTARA) - Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai penurunan harga BBM nonsubsidi merupakan diskresi PT Pertamina (Persero) sebagai pelaku usaha, karena memang tidak ada subsidi, yang diberikan oleh pemerintah ke produk BBM nonsubsidi.
Untuk BBM nonsubsidi, menurut dia, penetapan harganya tidak lagi diatur pemerintah dan badan usaha memang harus menjalankan aturan yang dibuat pemerintah salah satunya adalah melalukan evaluasi harga BBM nonsubsidi.
"Dengan demikian, Pertamina kemungkinan hanya mempertimbangkan biaya produksi dari harga BBM tersebut dan persaingan dengan penyalur BBM nonsubsidi lainnya," kata Josua dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Minggu.
Lebih lanjut, dia menuturkan, biaya produksi BBM nonsubsidi sebagian besar dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak dunia serta nilai tukar rupiah.
Jadi, semakin tinggi harga minyak mentah dan semakin lemah nilai tukar, maka biaya produksi BBM akan meningkat dan sebaliknya.
Josua menjelaskan berdasarkan tren terakhir, harga minyak mentah dunia mengalami penurunan yakni jenis Brent, yang pada akhir Oktober 87,4 dolar AS, namun pada akhir November turun menjadi 80,86 dolar AS per barel.
Sementara, nilai tukar rupiah cenderung menguat yakni akhir Oktober di angka Rp15.880 dan akhir November menjadi Rp15.505 per dolar AS.
"Dengan demikian, biaya produksi BBM menjadi lebih rendah, sehingga pelaku usaha bisa menurunkan harga BBM nonsubsidi," ungkap Josua.
Pertamina baru saja melakukan penyesuaian terhadap harga BBM nonsubsidinya untuk jenis Pertamax Series dan Solar nonsubsidinya yaitu Dexlite per 1 Desember 2023.
Perubahan harga itu merupakan wujud dari pelaksanaan aturan yang diterbitkan pemerintah yakni tentang formula penetapan harga sesuai Kepmen ESDM No 245.K/MG.01/MEM.M/2022 tentang Formulasi Harga JBU atau BBM Nonsubsidi.
Per 1 Desember 2023, harga Pertamax di DKI Jakarta turun menjadi Rp13.350 per liter dari harga November 2023 Rp13.400 per liter.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ekonom nilai penurunan harga BBM nonsubsidi jadi diskresi Pertamina
Untuk BBM nonsubsidi, menurut dia, penetapan harganya tidak lagi diatur pemerintah dan badan usaha memang harus menjalankan aturan yang dibuat pemerintah salah satunya adalah melalukan evaluasi harga BBM nonsubsidi.
"Dengan demikian, Pertamina kemungkinan hanya mempertimbangkan biaya produksi dari harga BBM tersebut dan persaingan dengan penyalur BBM nonsubsidi lainnya," kata Josua dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Minggu.
Lebih lanjut, dia menuturkan, biaya produksi BBM nonsubsidi sebagian besar dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak dunia serta nilai tukar rupiah.
Jadi, semakin tinggi harga minyak mentah dan semakin lemah nilai tukar, maka biaya produksi BBM akan meningkat dan sebaliknya.
Josua menjelaskan berdasarkan tren terakhir, harga minyak mentah dunia mengalami penurunan yakni jenis Brent, yang pada akhir Oktober 87,4 dolar AS, namun pada akhir November turun menjadi 80,86 dolar AS per barel.
Sementara, nilai tukar rupiah cenderung menguat yakni akhir Oktober di angka Rp15.880 dan akhir November menjadi Rp15.505 per dolar AS.
"Dengan demikian, biaya produksi BBM menjadi lebih rendah, sehingga pelaku usaha bisa menurunkan harga BBM nonsubsidi," ungkap Josua.
Pertamina baru saja melakukan penyesuaian terhadap harga BBM nonsubsidinya untuk jenis Pertamax Series dan Solar nonsubsidinya yaitu Dexlite per 1 Desember 2023.
Perubahan harga itu merupakan wujud dari pelaksanaan aturan yang diterbitkan pemerintah yakni tentang formula penetapan harga sesuai Kepmen ESDM No 245.K/MG.01/MEM.M/2022 tentang Formulasi Harga JBU atau BBM Nonsubsidi.
Per 1 Desember 2023, harga Pertamax di DKI Jakarta turun menjadi Rp13.350 per liter dari harga November 2023 Rp13.400 per liter.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ekonom nilai penurunan harga BBM nonsubsidi jadi diskresi Pertamina