Bantul (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta siap melakukan kajian terhadap laporan dari masyarakat atas dugaan pelanggaran pamong atau perangkat kelurahan di wilayah Kecamatan Dlingo dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bantul 2024.

"Laporan tersebut sudah kami terima, kemudian akan kami kaji terlebih dahulu untuk memastikan apakah syarat formil dan materiil terpenuhi," kata Ketua Bawaslu Kabupaten Bantul Didik Joko Nugroho di Bantul, Kamis.

Menurut dia, setiap laporan akan diproses sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku, termasuk dugaan pelanggaran yang diterima pada Selasa (19/11), dan jika hasil kajian menunjukkan semua syarat terpenuhi, Bawaslu akan mengadakan pleno untuk menindaklanjuti laporan tersebut.

"Setelah pleno, kami akan melanjutkan dengan proses klarifikasi kepada pihak-pihak terkait, seperti pelapor, terlapor, maupun saksi," katanya.

Menurut dia, kajian awal oleh jajaran Bawaslu memerlukan waktu tiga hari untuk memeriksa keterpenuhan unsur formil dan materiil dalam dugaan pelanggaran tersebut, sebelum kemudian melangkah ke tahap selanjutnya.

Dia mengatakan, setelah kajian selesai dan syarat-syarat terpenuhi, maka Bawaslu akan memanggil pihak-pihak yang terlibat. Pihaknya juga akan mengatur pemanggilan, baik pertama maupun kedua, sesuai kebutuhan.

"Kami mempunyai komitmen untuk menjaga integritas dan transparansi dalam proses Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bantul 2024," katanya.

Laporan dugaan pelanggaran netralitas pamong kelurahan itu dilaporkan sejumlah warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Bantul. Mereka melaporkan adanya beberapa oknum perangkat di salah satu desa Kecamatan Dlingo Bantul yang tidak netral.

Juru Bicara Aliansi Masyarakat Peduli Bantul Endik mengatakan, oknum perangkat desa ini diduga mendukung pasangan calon (paslon) tertentu, sehingga melanggar aturan yang berlaku, bahwa perangkat desa harus menjaga netralitas dalam Pilkada 2024 termasuk di Bantul.

"Kami berharap Bawaslu Bantul dapat menindaklanjuti dan merespon laporan ini supaya meminimalisir terjadinya kegaduhan," katanya.

Sementara itu, Praktisi Hukum Musthafa mengatakan, ketidaknetralan aparat desa dalam Pilkada dapat mencederai nilai-nilai demokrasi. Sehingga yang dilakukan oknum desa ini rentan melanggar pasal dalam undang-undang terkait netralitas pejabat publik, khususnya perangkat desa.

Dia mengatakan, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada Pasal 71 Ayat (1) menyebut "Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI/Polri, kepala desa, dan perangkat desa dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama kampanye.

"Jika terbukti melanggar, tindakan tersebut dapat dijerat dengan Pasal 188, yang menyatakan ancaman pidana penjara paling lama enam bulan dan atau denda paling banyak sebesar Rp6 juta," katanya.

Dia juga mengatakan, dalam UU tentang Desa juga mengatur kepala desa dan perangkat desa dilarang melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga negara atau golongan tertentu, serta dilarang menyalahgunakan wewenang dan jabatannya.

"Dukungan kepada pasangan calon tertentu dapat dianggap sebagai tindakan diskriminatif dan penyalahgunaan wewenang, yang bertentangan dengan asas netralitas," katanya.

Ketentuan tersebut juga diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diantaranya menyebut "Pelaksana atau tim kampanye dilarang melibatkan aparat desa, perangkat desa, atau pejabat lainnya dalam kegiatan kampanye".


Pewarta : SP
Editor : Hery Sidik
Copyright © ANTARA 2024