Jogja (Antara Jogja) - Kelompok mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta mengembangkan alat yang dapat mendeteksi keberadaan gas beracun dari aktivitas vulkanik gunung berapi.
"Ketika mendeteksi adanya gas beracun, alat tersebut akan mengeluarkan bunyi alarm sebagai tanda bagi penduduk sekitar untuk segera mengevakuasi diri," kata ketua kelompok mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Alfi Ihda Amalia di Yogyakarta, Kamis.
Menurut dia, alat itu diharapkan dapat digunakan sebagai perlengkapan mitigasi bencana yang bermanfaat bagi penduduk di kawasan gunung berapi.
"Ide untuk merancang alat itu berawal dari ketertarikan untuk meneliti gas beracun yang sering menyertai aktivitas vulkanik gunung berapi," katanya.
Ia mengatakan material-material as yang dibawa akibat letusan gunung berapi seperti H2S (Hidrogen Sulfida) dalam konsentrasi yang tinggi dapat berbahaya bagi manusia dan lingkungan karena beracun.
"Oleh karena itu saya bersama empat rekan mengembangkan pendeteksi keberadaan gas H2S tersebut. Empat mahasiswa itu adalah Muhammad Supwatul Hakim, Febby Yulia Hastika, Septian Ramadan, dan Nurul Indriani," katanya.
Menurut dia, salah satu metode untuk mendeteksi gas H2S adalah melalui "chemical sensor". Gas H2S itu pada intinya terdiri atas unsur kimia yang akan memicu reaksi ketika berkontak dengan unsur kimia tertentu.
Reaksi kimia itu dimanfaatkan untuk mengecek keberadaan gas tersebut di suatu tempat sekaligus menyusun alat sensor.
"Chemical sensor diracik dari campuran reagen yang dipreparasi dengan cara mencampur timbal asetat ke dalam tetrahidro furan (THF) dan campuran polimer," katanya.
Ia mengatakan satu rangkaian alat sensor terdiri atas berbagai komponen seperti turbidimeter, reaktor gas, selang, baterai, alarm, dan "chemical sensor" sebagai pemicu reaksi dengan gas H2S.
Prinsip kerjanya ketika terdeteksi gas H2S melewati "chemical sensor" terjadi reaksi antara H2S dengan Tb asetat kemudian menghasilkan asam asetat. Asam asetat itu membuat sensor basah yang dapat mengalirkan listrik sehingga alarm berbunyi. "Untuk membuat sebuah rangkaian alat sensor itu diperkirakan membutuhkan biaya sekitar Rp500 ribu," katanya.
Menurut dia, potensi bencana gunung berapi yang sering luput dari perhatian adalah adanya gas beracun yang menyertai aktivitas vulkanik gunung berapi tersebut seperti pernah terjadi di kawasan Dieng pada 1966.
Gas beracun yang berasal dari Kawah Sinila itu menyebabkan tewasnya puluhan penduduk di kawasan tersebut.
"Oleh karena itu, potensi bahaya gas beracun juga perlu mendapat perhatian. Hal itu penting karena gas beracun seringkali sulit dideteksi secara kasat mata," katanya.
(B015)
Berita Lainnya
Gunung Merapi meluncurkan 11 kali guguran lava sejauh 1,6 km
Jumat, 8 November 2024 12:55 Wib
Gunung Lewotobi Laki-laki memuntahkan awan panas guguran
Kamis, 7 November 2024 11:20 Wib
Erupsi setinggi 2.500 meter di puncak Gunung Lewotobi NTT
Kamis, 7 November 2024 9:56 Wib
Pemkab Sleman menyerahkan bantuan kepada korban bencana angin kencang
Rabu, 6 November 2024 17:44 Wib
BNPB petakan zona rawan banjir lahar dingin Gunung Lewotobi
Rabu, 6 November 2024 15:41 Wib
Presiden Prabowo sampaikan duka dan menjamin korban erupsi di NTT
Selasa, 5 November 2024 11:34 Wib
Delapan desa terparah kerusakan akibat erupsi gunung Lewotobi
Selasa, 5 November 2024 10:09 Wib
Status tanggap darurat pascaerupsi Lewotobi Laki-Laki
Senin, 4 November 2024 9:43 Wib