KPK menggeledah rumah Dirut PLN Sofyan Basir

id febri diansyah

KPK menggeledah rumah Dirut PLN Sofyan Basir

Juru bicara KPK Febri Diansyah (Foto Antara)

Jakarta (Antaranews Jogja) - Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah Dirut Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir di Jakarta Pusat, Minggu terkait penyidikan tindak pidana korupsi suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.

"Benar, ada penggeledahan di rumah Dirut PLN yang dilakukan sejak pagi ini oleh tim KPK dalam penyidikan kasus suap terkait proyek PLTU Riau-1," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Minggu.

Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan dua tersangka masing-masing anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih (EMS) dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK).

"Tim masih berada di sana. Penggeledahan di lokasi tertentu dilakukan dalam rangka menemukan bukti yang terkait dengan perkara," ungkap Febri.

KPK pun mengharapkan pihak-pihak terkait kooperatif dan tidak melakukan upaya-upaya yang dapat menghambat pelaksanaan tugas penyidikan ini.

Dalam kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (13/7), KPK mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu, yaitu uang sejumlah Rp500 juta dalam pecahan Rp100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.

Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari komitmen "fee" 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

"Diduga, penerimaan kali ini merupakan penerimaan keempat dari pengusaha JBK kepada EMS dengan nilai total setidak-tidaknya Rp4,8 miliar, yaitu Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 Rp2 miliar, 8 Juni 2018 Rp300 juta," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (14/7) malam.

Diduga uang diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Eni Maulani Saragih melalui staf dan keluarga.

"Diduga peran EMS adalah untuk memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1," ucap Basaria.

Sebagai pihak yang diduga pemberi Johannes Budisutrisno Kotjo disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal itu yang mengatur mengenai memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Sedangkan sebagai pihak yang diduga penerima Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024