Jakarta (ANTARA) - Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung, atau yang dikenal publik dengan nama Whoosh (Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat) sejak awal diiringi ambisi besar: mewujudkan efisiensi waktu tempuh dari sekitar 3 jam menuju kurang dari 1 jam, meningkatkan konektivitas, dan menjadi simbol lompatan transportasi modern Indonesia.
Banyak pihak yang menyebutnya sebagai tonggak sejarah baru transportasi di Indonesia yang mulai masuk ke dalam fase moda transportasi modern, serta menjadi simbol kesejajaran dengan negara maju, terutama dalam hal mewujudkan moda mobilitas berkecepatan tinggi.
Whoosh lahir dari kolaborasi dua raksasa ekonomi Asia: Indonesia dan Tiongkok, dalam proyek yang sejak awal diimpikan akan menjadi cikal bakal revolusi infrastruktur transportasi modern di negeri ini.
Di balik euforia kebanggaan atas lahirnya kereta cepat pertama di Asia Tenggara, terselip kenyataan bahwa perjalanan Whoosh belum sepenuhnya mulus. Di antara deru lajunya, bayang-bayang beban utang masih membayangi neraca dan keuangan negara.
Proyek yang semula digadang-gadang tanpa jaminan fiskal, kini memunculkan pertanyaan baru: bagaimana memastikan keberlanjutannya, tanpa menjadi beban bagi APBN? Di sinilah urgensi itu muncul bahwa kebanggaan infrastruktur modern harus diimbangi dengan kecerdasan finansial dan keberanian mencari jalan keluar kreatif.
Bukan untuk menyesali keputusan masa lalu, tetapi untuk memastikan agar investasi besar ini benar-benar memberi nilai tambah bagi perekonomian dan generasi mendatang.
Baca juga: KCIC periksa jalur Whoosh usai gempa di Bandung
Kompleksitas
Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung sejatinya dirancang dengan biaya awal sekitar US$6 miliar. Hanya saja, seiring perjalanan waktu, berbagai faktor, mulai dari pembebasan lahan, perubahan desain, hingga kenaikan harga bahan konstruksi yang mendorong cost overrun hingga mencapai sekitar US$7,2 miliar atau setara Rp116 triliun.
Sebagian besar pembiayaan berasal dari pinjaman luar negeri, khususnya dari China Development Bank (CDB) yang menanggung sekitar 75 persen total utang proyek. Sementara sisanya dibiayai oleh konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang di dalamnya terdapat PT KAI sebagai pemegang saham mayoritas dari pihak Indonesia.
Pada titik ini, struktur keuangan proyek mulai menunjukkan tanda-tanda tekanan. Setiap tahun, beban bunga atas pinjaman tersebut diperkirakan mencapai US$120 juta hingga US$130 juta, setara hampir Rp2 triliun hanya untuk membayar bunga, belum pokoknya. Jumlah yang sangat besar untuk proyek yang baru berjalan dan belum mencapai keseimbangan operasi.
Laporan keuangan semester I tahun 2025 menunjukkan bahwa KCIC mencatat kerugian sekitar Rp1,6 triliun. Di sisi lain, jumlah penumpang sepanjang 2024 hanya mencapai sekitar 6 juta orang, dengan rata-rata tarif Rp250 ribu per tiket. Artinya, total pendapatan kotor setahun tidak lebih dari Rp1,5 triliun dan masih jauh di bawah kebutuhan untuk membayar bunga saja.
Bahkan, jika tingkat okupansi meningkat, margin keuntungannya tetap tipis karena biaya operasi dan pemeliharaan kereta cepat yang bersifat padat modal dan teknologi tinggi, sehingga tidak bisa ditekan secara signifikan.
Mengurai persoalan utang
Sejak awal, proyek Whoosh dijanjikan akan berjalan, tanpa menggunakan uang negara. Pemerintah menegaskan bahwa tidak ada jaminan APBN yang disertakan. Semua tanggung jawab, baik konstruksi maupun pembiayaan, sepenuhnya menjadi urusan badan usaha yang menjadi penanggung jawab proyek strategis tersebut.
Namun ketika beban bunga mulai jatuh tempo, dan arus kas proyek belum kuat, diskursus publik berubah. Kekhawatiran muncul bahwa Whoosh berpotensi menjadi liability terselubung bagi keuangan negara, terutama karena PT KAI sebagai BUMN utama yang menanggung porsi terbesar dalam konsorsium. Jika KAI mengalami tekanan likuiditas, imbasnya akan terasa pada layanan publik lain, seperti kereta ekonomi bersubsidi, commuter line, hingga perawatan infrastruktur dasar.
Mengurai persoalan beban utang Whoosh tidak cukup hanya dengan menyebut angka, tetapi harus dilihat sebagai bagian dari kombinasi kebijakan, asumsi ekonomi, dan tantangan struktural yang saling terkait.
Pertama, perencanaan proyek yang terlalu optimistis. Proyeksi jumlah penumpang yang menjadi dasar kelayakan ekonomi ternyata jauh meleset dari kenyataan. Di atas kertas, angka okupansi yang tinggi dianggap realistis karena jarak Jakarta–Bandung cukup padat aktivitas. Hanya saja, dalam praktiknya, banyak calon penumpang tetap memilih kendaraan pribadi atau moda transportasi lain karena alasan fleksibilitas, harga, dan akses stasiun.
Kedua, keterbatasan konektivitas dan integrasi transportasi pendukung. Banyak pengguna mengeluhkan bahwa stasiun Whoosh di Tegalluar relatif jauh dari pusat Kota Bandung, sementara akses transportasi penghubung belum optimal. Hal ini membuat perjalanan menjadi tidak efisien.
Ketiga, pembengkakan biaya konstruksi (cost overrun) yang luar biasa. Faktor perubahan desain, kenaikan harga bahan, dan hambatan pembebasan lahan membuat biaya naik hampir 20 persen dari rencana awal. Setiap penambahan biaya otomatis memperbesar pinjaman, dan setiap pinjaman baru berarti tambahan bunga yang menekan keuangan proyek.
Keempat, struktur pembiayaan yang berat sebelah. Sebagian besar pinjaman bersumber dari lembaga keuangan luar negeri dengan bunga dan tenor tertentu yang kurang fleksibel terhadap kondisi pasar domestik. Ini menambah kerentanan terhadap fluktuasi nilai tukar dan risiko makroekonomi.
Baca juga: Istana: Pemerintah siapkan skema non-APBN bayar utang Whoosh