Kulon Progo (ANTARA) - Anggota Kaukus Perempuan Parlemen DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta Akhid Nuryati menyampaikan bahwa kelompok seni tradisional Angguk yang sudah menjadi ikon Kabupaten Kulon Progo merupakan bentuk nyata partisipasi perempuan dalam pembangunan dan pemberdayaan ekonomi secara mandiri.
Akhid Nuryati di Kulon Progo, Senin, mengatakan dalam dialog bertajuk “Perempuan Dalam Pembangunan Melalui Ekonomi Kebudayaan” yang diinisiasi oleh Kaukus Perempuan Parlemen (KPP) DPRD DIY pada Minggu (2/11), dirinya menerima keluh kesah atau aspirasi dari pelaku tari angguk yang akhir akhir ini sepi job akibat isu pelarangan tari angguk di Kulon Progo.
Akhid Nuryati tentu saja sebagai wakil rakyat sekaligus Ketua Forum Angguk harus menanggapi keresahan ini dengan serius.
"Kemarin, saya menghadirkan kelompok, pelaku dan sanggar angguk se Kulon Progo, bersama Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Kundo Kabudayan, Dewan Kebudayaan, seniman dan budayawan serta tokoh masyarakat untuk menampung aspirasi mereka sekaligus berdiskusi mencari solusi," kata Akhid.
Akademisi dari ISI Yogyakarta dan pelaku seni yang ikut mempopulerkan tari angguk Gandung Jatmiko mengatakan tari angguk adalah seni pertunjukan yang berdampak ekonomi. Dirinya menyayangkan jika Angguk Kulon Progo tidak dilindungi dan dikembangkan.
Gandung mengungkapkan sejarah angguk sejak semula merupakan kesenian religius (dakwah) lalu menjadi alat perjuangan melawan penjajah hingga akhirnya menjadi seni pertunjukan yang menghidupi seniman dan berkontribusi memberi warna terhadap pembangunan kebudayaan di Kulon Pogo.
"Jadi kalau ujung jari kita tertusuk duri, maka tidak perlu kita mengamputasi lengan atau bahu kita” kata Gandung memberi ilustrasi tentang nasib Angguk akhir akhir ini.
Pada sesi lain, Dosen prodi ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Ahmad Ma’ruf menyatakan bahwa tari angguk merupakan bentuk praktik dari ekonomi kreatif.
Ahmad Maruf menambahkan bahwa diperlukan peta jalan kebudayaan untuk melestarikan seni tradisi yang mendorong tumbuhnya ekonomi kebudayaan.
“Angguk itu seni pertunjukan yang mengandung inovasi, punya nilai jual karena faktanya angguk sudah menjadi identitas atau ikon bagi Kulon Progo sejak lama, jadi mestinya ikon atau brand yang sudah dikenal itu dipertahankan bahkan kalau perlu dikapitalisasi agar semakin punya nilai tambah," urai Ma’ruf.
Dalam sesi diskusi Dewan Kebudayaan Kulon Progo Umar Sanusi mengatakan bahwa angguk adalah produk kebudayaan yang perlu diatur segementasi ruangnya. “Jadi perlu dipikirkan pertunjukan angguk sebagai seni religi dan pertunjukan angguk sebagai tontontan yang bernilai ekonomi” ujar Umar Sanusi.
Dalam kesempatan tersebut Sri Pranglaras pemilik Sanggar Tari Angguk dan anggota Forum angguk lain menyatakan bahwa angguk sudah menjadi pilihan hidup dan menjadi sumber penghasilan yang sangat membantu kebutuhan ekonomi keluarga. “kami sedih gara gara isyu bahwa angguk modern dilarang pentas, akhir akhir ini jadi jarang sepi tanggapan (job) kami jadi kehilangan penghasilan pokok” ujar salah satu pelaku tari angguk dalam forum seminar.
Dalam penutupnya Akhid Nuryati berharap kepada pemangku kepentingan Kundo Kabudayan yang hadir dalam seminar tersebut diminta untuk berpihak kepada seni pertunjukan yang sudah tumbuh, dan Dikpora ikut bertanggungjawab dalam mewujudkan implementasi pendidikan karakter melalui pembangunan ekonomi kebudayaan. Sebelumnya Dikpora menyampaikan bahwa sering kekurangan narasumber dalam mengimplementasikan pendidikan karakter.
“Dikpora dan Kundo Kabudayan harus bersinergi mulai menginventarisir narasumber budayawan dan seniman yang ahli di bidangnya di Kulon Progo untuk di sertifikasi dan di standarisasi agar lebih terkontrol dan berkualitas, sehingga pendidikan Karakter dan Pembangunan Ekonomi Kebudayaan dapat berdampak nyata dan tuntas," jawab Akhid Nuryati yang merupakan mantan Ketua DPRD Kulon Progo dua periode ini.
