Jogja (Antara Jogja) - Perpaduan antara terciptanya keadilan sosial dan memperkuat tradisi karakter keindonesiaan perlu diwujudkan untuk mengatasi ketimpangan dan marginalisasi kelas sosial, kata sosiolog Universitas Gadjah Mada Arie Sujito.

"Cita-cita konstitusionalisme yang menurunkan narasi besar dalam kebijakan yang berorientasi keadilan sosial harus bisa dirasakan masyarakat Indonesia," katanya di Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Senin.

Pada seminar "Pergulatan Multikulturalisme Dalam Perspektif Bahasa, Sastra, dan Sejarah", ia mengatakan hal itu harus praksis, bukan sebatas mereproduksi jargon dalam tajuk Pancasila dan historitas romantik.

"Rangkaian peristiwa konflik dan eskalasi kekerasan yang terjadi di berbagai tempat mempertebal keyakinan bahwa kemajemukan struktur masyarakat Indonesia dihadapkan pada situasi cukup rentan," katanya.

Menurut dia, terjadi distorsi besar-besaran seolah-olah reformasi justru melahirkan konflik dan kekerasan serta ketidakstabilan.

"Saya berpandangan bahwa konflik dan kekerasan bukan akibat reformasi. Namun menjadi alat justifikasi secara sepihak untuk kembali ke zaman Orde Baru," katanya.

Ia mengatakan terlalu distortif jika mengaitkan secara kausalitas antara semakin tingginya derajat konflik dan kekerasan berkorelasi positif dengan reformasi. Sesungguhnya reformasi bukan menjadi penyebab langsung maraknya konflik dan kekerasan.

"Konflik dan kekerasan besar kemungkinan akibat dari kerentanan kondisi sosial masyarakat serta struktur dan kultur akibat masa lalu serta rapuhnya tata politik Indonesia dalam menjalankan fase pasca-otoriterisme," katanya.

Dosen Kajian Budaya Universitas Indonesia (UI) Hilmar Farid mengatakan sumber konflik di Indonesia dan banyak negara yang nampak seperti konflik etnik atau agama sesungguhnya merupakan konflik sosial di sekitar perebutan sumber daya.

Menurut dia, terjadi pergeseran kepemilikan tanah dan penggusuran yang masif, menurunnya tingkat pendapatan akibat inflasi, berkurangnya subsidi yang membuat orang semakin rentan, menyempitnya ruang sosial di perkotaan.

"Hal itu menjadi bagian dari krisis sosial-ekologis yang lebih luas, termasuk sumber konflik utama di Indonesia selama sekitar 20 tahun terakhir," katanya.

Seminar yang dihadiri ratusan peserta itu diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis Ke-22 Fakultas Sastra USD.

(B015)

Pewarta : Oleh Bambang Sutopo Hadi
Editor : Masduki Attamami
Copyright © ANTARA 2024