Yogyakarta (ANTARA) - Pakar Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni menduga spora antraks nyaman tumbuh di tanah kapur seperti yang ada di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
"Spora antraks justru dengan CaCo3 (tanah kapur) membuat hidupnya lebih panjang dan lebih bagus lagi," kata Wahyuni saat jumpa pers mengenai antraks, ancaman dan penanganannya di Kampus UGM Yogyakarta, Sabtu.
Hal itu disampaikan Wahyuni mengacu temuannya pada saat melakukan penelitian mengenai antraks pada awal tahun 2000. Saat itu pengambilan sampel darah hewan terjangkit antraks dilakukan dengan menempelkannya ke kapur sebagai media untuk dibawa ke laboratorium.
Ketika sampel dengan kapur itu dimasukkan ke dalam tabung steril hasilnya diketahui bahwa spora antraks itu justru hidup dan tumbuh.
"Nah kaitannya dengan yang di Gunung Kidul mungkin perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Saya bilang mungkin ada peluang bahwa di daerah yang berkapur spora (antraks) itu mungkin lebih tahan," jelas dia.
Selain diperlukan penelitian lanjutan mengenai hal itu, Wahyuni juga merekomendasikan agar penanganan kasus antraks di Gunung Kidul sebagai daerah endemis dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan.
Tanpa penanganan menyeluruh, menurut dia tak menutup kemungkinan kasus antraks muncul kembali. Apalagi, spora dari bakteri Bacillus anthracis itu bisa tumbuh pada suhu 12 hingga 44 derajat Celcius dan bertahan di tanah hingga puluhan tahun.
"Spora (antraks) itu di tanah dan ini bisa menyebar ke mana-mana tanpa kita harus diberi tahu oleh mereka dan kita sulit menentukan spora ada di mana," kata dia.
Wahyuni juga mengingatkan agar hewan ternak yang diduga terjangkit penyakit antraks tidak disembelih atau dibuka. Pasalnya, jika disembelih dan darahnya keluar lalu bakterinya berhubungan dengan udara maka akan membentuk spora.
Penanganan bangkai hewan yang terpapar antraks, tambah dia sebaiknya dilakukan dengan memasukkan ke dalam tanah pada kedalaman dua meter, disiram dengan minyak tanah atau bensin, kemudian dibakar. Setelah itu, ditutup dan diberi disinfektan.
Area tersebut juga sebaiknya diplester atau dilapisi dengan semen sebagai penanda bahwa di tempat tersebut pernah terjadi kasus antraks. "Tempat itu tidak boleh dibongkar kembali," ujar dia.
Kendati demikian, Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof Ali Agus berharap masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan mengenai kasus antraks.
Menurut Ali Agus, antraks sendiri merupakan penyakit yang bersumber dari binatang dan tidak menular dari manusia ke manusia. Penularannya biasanya terjadi karena adanya kontak langsung dengan hewan yang sakit atau daging hewan yang terkontaminasi dan mengonsumsi daging hewan yang terkontaminasi spora antraks.
Pasca kejadian ini, Ali menyebutkan bahwa perlu dilakukan pembatasan mobilisasi orang dan ternak untuk mengurangi risiko penularan dan langkah-langkah strategis lainnya terkait biosecurity.
"Yang paling sederhana, bagaimana orang yang keluar dan masuk kandang itu diberi disinfektan," kata dia.
Diwartakan sebelumnya, sebanyak 27 warga di Kecamatan Ponjong dan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dinyatakan positif antraks karena mengkonsumsi daging hewan ternak yang mati karena terpapar antraks.
"Spora antraks justru dengan CaCo3 (tanah kapur) membuat hidupnya lebih panjang dan lebih bagus lagi," kata Wahyuni saat jumpa pers mengenai antraks, ancaman dan penanganannya di Kampus UGM Yogyakarta, Sabtu.
Hal itu disampaikan Wahyuni mengacu temuannya pada saat melakukan penelitian mengenai antraks pada awal tahun 2000. Saat itu pengambilan sampel darah hewan terjangkit antraks dilakukan dengan menempelkannya ke kapur sebagai media untuk dibawa ke laboratorium.
Ketika sampel dengan kapur itu dimasukkan ke dalam tabung steril hasilnya diketahui bahwa spora antraks itu justru hidup dan tumbuh.
"Nah kaitannya dengan yang di Gunung Kidul mungkin perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Saya bilang mungkin ada peluang bahwa di daerah yang berkapur spora (antraks) itu mungkin lebih tahan," jelas dia.
Selain diperlukan penelitian lanjutan mengenai hal itu, Wahyuni juga merekomendasikan agar penanganan kasus antraks di Gunung Kidul sebagai daerah endemis dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan.
Tanpa penanganan menyeluruh, menurut dia tak menutup kemungkinan kasus antraks muncul kembali. Apalagi, spora dari bakteri Bacillus anthracis itu bisa tumbuh pada suhu 12 hingga 44 derajat Celcius dan bertahan di tanah hingga puluhan tahun.
"Spora (antraks) itu di tanah dan ini bisa menyebar ke mana-mana tanpa kita harus diberi tahu oleh mereka dan kita sulit menentukan spora ada di mana," kata dia.
Wahyuni juga mengingatkan agar hewan ternak yang diduga terjangkit penyakit antraks tidak disembelih atau dibuka. Pasalnya, jika disembelih dan darahnya keluar lalu bakterinya berhubungan dengan udara maka akan membentuk spora.
Penanganan bangkai hewan yang terpapar antraks, tambah dia sebaiknya dilakukan dengan memasukkan ke dalam tanah pada kedalaman dua meter, disiram dengan minyak tanah atau bensin, kemudian dibakar. Setelah itu, ditutup dan diberi disinfektan.
Area tersebut juga sebaiknya diplester atau dilapisi dengan semen sebagai penanda bahwa di tempat tersebut pernah terjadi kasus antraks. "Tempat itu tidak boleh dibongkar kembali," ujar dia.
Kendati demikian, Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof Ali Agus berharap masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan mengenai kasus antraks.
Menurut Ali Agus, antraks sendiri merupakan penyakit yang bersumber dari binatang dan tidak menular dari manusia ke manusia. Penularannya biasanya terjadi karena adanya kontak langsung dengan hewan yang sakit atau daging hewan yang terkontaminasi dan mengonsumsi daging hewan yang terkontaminasi spora antraks.
Pasca kejadian ini, Ali menyebutkan bahwa perlu dilakukan pembatasan mobilisasi orang dan ternak untuk mengurangi risiko penularan dan langkah-langkah strategis lainnya terkait biosecurity.
"Yang paling sederhana, bagaimana orang yang keluar dan masuk kandang itu diberi disinfektan," kata dia.
Diwartakan sebelumnya, sebanyak 27 warga di Kecamatan Ponjong dan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dinyatakan positif antraks karena mengkonsumsi daging hewan ternak yang mati karena terpapar antraks.